Minggu, 06 Januari 2013

Belajar Pemecahan Masalah kepada ‘Aisyah


Apa Itu Masalah dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

       Masalah (problem) bisa didefinisikan sebagai perasaan akan adanya kesulitan yang harus dilalui atau rintangan yang harus dilewati untuk mewujudkan tujuan. Masalah bisa juga dikatakan bahwa ia merupakan benturan dengan realitas yang tidak kita inginkan, seolah-olah kita menginginkan sesuatu, kemudian mendapatkan sebaliknya. Agar kita bisa menghadapi berbagai masalah dan mengatasinya, kita harus menempuh sebuah pendekatan tertentu yang membuat kita bisa merasakan adanya masalah, mengenalinya, dan mengidentifikasi karakternya, kemudian memikirkan berbagai solusi pemecahannya, lalu menerapkan solusi pemecahannya, lalu menerapkan solusi yang paling ideal dan memastikan hal tersebut, kemudian merefleksikan perkembangan dan hasil yang diperoleh.
        Hal ini tentu saja menuntut pencurahan seluruh daya kemampuan untuk melakukan kajian dan pemikiran serius terhadap berbagai fase perkembangan dan sejumlah topik permasalahan. Terkadang ia berhasil dalam waktu yang relatif cepat, namun ada juga yang memakan waktu yang lama. Yang terpenting di sini adalah melatih dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hal tersebut dan membangun kemampuan berpikir yang diperlukan untuk hal ini.
        Bagaimanakah pendekatan yang ditempuh oleh Ummul mukminin ‘Aisyah dalam menghadapi masalah ini?

            Masalah yang dialami Ummul mukminin ‘Aisyah dikenal dengan sebutan “haaditsah al-ifk” (skandal isu kebohongan perselingkuhan ‘Aisyah). Secara singkat, kasus ini merupakan penyebaran isu oleh kalangan orang-orang munafik yang berisi tuduhan zina kepada Ummul mukminin ‘Aisyah, ketika ia ketinggalan dari rombongan pasukan dalam sebuah peperangan, kemudian diantar oleh seorang sahabat yang bernama Shafwan ibnu Al-Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani di atas unta Shafwan. Setelah itu, menyebarlah berbagai isu miring mengenai dirinya yang bergerak cepat seperti api membakar rumput kering.
Masalah ini memiliki dua sisi kejadian:
1. ketika Ummul mukminin mendapati dirinya sendirian dan telah ditinggal oleh rombongan pasukan; dan
2. ketika isu tentang dirinya menyebar luas, padahal ia sama sekali tidak pernah memikirkannya.

       Apa yang dilakukan Ummul mukminin ‘Aisyah menghadapi kedua sisi masalah ini?

1. Adanya sense of crisis akan suatu masalah dan keterlibatan di dalamnya.

            Penting diketahui bahwa suatu masalah tidak akan berarti apa-apa selama seseorang atau orang yang memiliki kaitan dengan masalah itu tidak merasakannya sebagai masalah. Dalam kasus ini, Sayyidah ‘Aisyah sudah merasakan dirinya berada dalam  masalah ketika ia kembali (setelah buang hajat) dan tidak mendapati rombongan pasukan di tempatnya. Ini baru dari sisi pertama masalah.
            Sementara dari sisi kedua yakni tuduhan perzinaan atas dirinya. Ia menyadari adanya masalah yang melilit dirinya ketika ia diberi tahu oleh Ummu Misthah mengenai isu miring yang berkembang tentang dirinya. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah memikirkan hal tersebut, sehingga ia pun terkejut dengan apa yang dikatakan Ummu Misthah, bahkan pada mulanya ia sempat membela Abu Misthah sebagai ahli Badar yang tidak layak dicaci-maki.

2. Tetap menjaga konsistensi diri dan tidak droop ataupun panik.

            Dalam menghadapi masalah yang sangat berat ini, Ibunda kita, ‘Aisyah mampu menguasai diri dan tetap tenang, meskipun situasinya saat itu sangat berat karena ditinggal sendirian oleh rombongan pasukan yang sudah berangkat (tanpa menyadari ketinggalannya). Ia juga mampu menjaga keseimbangan jiwanya ketika mendengar isu miring tentang dirinya dan menyerap efek kejutan yang mengguncangnya, meskipun ia sebenarnya terkejut dan kaget dengan yang diisukan tentang dirinya.
            Kestabilan dan ketegaran jiwa (dalam menghadapi krisis) terwujud dengan memohon pertolongan kepada Allah lewat do’a, shalat, dzikir, berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin yang terkait dengan masalahnya, dan tetap optimis. Aspek keimanan secara umum juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam menjaga kondisi tersebut dalam seluruh fase penyelesaian masalah; dan inilah yang dipegang teguh oleh ibunda kita ‘Aisyah.

3. Memikirkan berbagai solusi permasalahan yang memungkinkan.

            Pada bagian masalah yang pertama, setelah menyadari dirinya berada dalam masalah dan mampu mengidentifikasi masalah yang menghadangnya, maka terlintaslah dalam benaknya ibunda kita hal-hal sebagai berikut:
a. Menyusul rombongan pasukan. Namun ia terbentur pada kendala antara lain: tidak adanya kendaraan, waktu beranjak malam, dan ia tidak bisa berjalan sendirian.
b. Tetap bertahan di tempat semula sambil bersembunyi.
c. Pergi ke tempat lain.
d. Tetap di tempat yang sama sambil menunggu kembali rombongan pasukan atau beberapa orang diantara mereka, karena jika mereka merasa kehilangan dirinya, tentu mereka akan kembali ke tempat tersebut untuk mencari dirinya.
e. Mencari seseorang yang juga ketinggalan rombongan pasukan sepertinya atau seseorang yang mengejar rombongan pasukan.
            Adapun pada bagian masalah yang kedua, yaitu setelah isu miring tentang dirinya menyebar, Ibunda kita, ‘Aisyah pun memikirkan berbagai kemungkinan solusi sebagai berikut:
*memberikan pembelaan diri
*menyerahkan urusan kepada Rasulullah sambil tetap tinggal di rumahnya, sambil memperhatikan keterpengaruhan Rasulullah dengan isu yang telah menyebarluas tersebut;
*kembali kepada keluarganya sambil bersabar dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah.

4. Menerapkan solusi yang tepat di antara solusi-solusi alternatif yang tersedia.

       Pada bagian pertama, Sayyidah ‘Aisyah memutuskan untuk tetap bertahan di tempat bekas perkemahan pasukan sebelumnya dengan harapan mereka atau beberapa orang diantara mereka akan kembali. Dalam kondisi tersebut, muncullah Shafwan. Tampaknya ‘Aisyah menyangka bahwa Shafwan sengaja dikirim oleh rombongan pasukan untuk menjemputnya. Ia pun langsung naik untanya tanpa berkata apa-apa kepadanya. Karena itu, tidak terlintas di benaknya sama sekali jika kemudian muncul gosip miring tentang dirinya karena ia merasa Shafwan dikirim oleh rombongan pasukan untuk menjemputnya.
     Adapun terkait dengan gosip dan tuduhan zina yang dialamatkan kepadanya (sebagai bagian kedua masalah), ‘Aisyah memutuskan untuk memohon kepada Rasulullah agar diizinkan pulang ke rumah orang tuanya. Dan ia benar-benar melakukannya karena menurutnya masalah ini perlu diselesaikan segera selama Rasulullah belum mendapatkan wahyu determinatif tentang masalah tersebut. Selain itu, kasus-kasus seperti ini juga membutuhkan rentang waktu agar masalahnya mereda dan tenang.
       Pilihannya untuk pergi ke rumah orang tuanya dengan demikian mengandung banyak kebijakan (hikmah) dan kecerdasan (hinkah). Hal ini diperkuat lagi dengan persetujuan Rasulullah atas permohonan tersebut secara cepat, sehingga semakin jelas bagi Ummul mukminin ‘Aisyah bahwa keputusan yang dipikirkan dan diambilnya sudah tepat. Ia pun keluar dari masalah dengan kondisi yang lebih kuat daripada sebelumnya, sebab Allah menyatakannya bersih dari segala tuduhan dan isu yang berkembang, langsung dari langit ketujuh. Sederet ayat Al-Qur’an yang dibaca (hingga hari Kiamat) pun turun mengenai dirinya, dan hal itu memberikan sejumlah implikasi hukum dan penanganan masalah. Semua ini ternyata berbuah banyak kebaikan.
      Kasus ‘Aisyah menjadi acuan dan solusi detinitif yang bisa diikuti jika terjadi kasus atau permasalahan seperti ini, sebab sebelumnya belum pernah ada kasus demikian. Kasus ini juga menjadi teladan baik bagi setiap pemudi muslimah agar tegar menghadapi segala permasalahan, sabar, berhati-hati (tidak tergesa-gesa), dan menghadapi segala situasi dengan penuh ketenangan dan tekad diri sampai masalah yang dihadapinya benar-benar terselesaikan dengan kehendak Allah.
           

Rabu, 02 Januari 2013

Kisah Hidup Sinta


          Si Manis, begitulah orang-orang memanggilku. Sebenarnya namaku Sinta, tapi mereka memanggilku si Manis karena parasku yang begitu manis. Aku lahir dari keluarga terpandang. Ayahku bernama Ali dan ibuku bernama Yana. Kedua orangtuaku berasal dari keluarga yang kaya raya dan berpengaruh di kampungku. Kami tinggal di sebuah kampung Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam. Sebuah kampung yang indah dan jauh dari hingar bingar perkotaan. Aku anak semata wayang, sedari kecil orangtuaku selalu menuruti  keinginanku. Seiringnya waktu, hal itu membuatku tumbuh menjadi anak yang egois dan sombong.
Aku sekolah di SMP 12 Kabupaten Agam. Aku sangat terkenal di sekolah karena kecantikan dan kekayaanku.
            ”Hai, perkenalkan namaku Mia,” sapa seorang siswi baru di sekolahku.
            ”Hai,” jawabku datar.
            ”Aku siswi baru di sini. Namamu Sinta kan?” Tanyanya dengan sangat sopan.
            Aku sama sekali tidak heran mengapa siswi baru ini bisa tahu namaku.
            ”Ya, ada apa?”
            ”Aku sering mendengar namamu, tampaknya kamu sangat terkenal di sekolah ini. Bolehkah aku berteman denganmu?” Pintanya dengan penuh harap.
            ”Kalau kamu kaya aku jadikan teman, tapi kalau tidak silahkan menjauh!” Itulah jawabanku yang membuat siswi baru itu tertunduk lemas.

¤¤¤

            Hari-hari yang aku jalani tidak terlepas dari keegoisan dan kesombongan. Orang-orang kampung sebenarnya tidak ada yang menyukaiku, tapi karena aku anak orang terpandang, jadi tidak ada diantara mereka yang berani memprotes sikapku. Sampai pada saat dimana orangtuaku tidak mampu membendung air mata ketika mengetahui keadaan anak semata wayangnya. Leukimia, itulah penyakit yang tengah aku derita saat ini.
            Penyakit ini membuat tubuhku semakin kurus, pucat tak berdarah. Semakin hari kondisiku semakin memburuk. Muntah darah, pingsan, bahkan seringkali aku mengalami lumpuh sesaat. Orangtuaku berusaha mengobatiku dengan segala usaha, namun tidak juga menemukan titik terang.  
Tubuhku memang berpenyakitan, namun aku berhasil menyelesaikan pendidikanku di SMA dengan segala kekuatanku. Sudah tiga tahun penyakit ini menyerang tubuhku, aku sungguh menderita. Saat terpuruk seperti ini, aku teringat dengan segala sikap dan perlakuanku kepada orang-orang di kampung ini. Sungguh tidak manusiawi sikapku pada mereka, mungkin penyakit ini merupakan balasan Tuhan atas keegoisan dan kesombonganku. Di tepi tabek ini aku merenung. Dalam perenunganku, aku mendengar perkataan orang-orang yang membicarakanku. Mereka berkata, ”Jika aku mati, aku pasti masuk neraka.” Aku mengulang kalimat itu berkali-kali dalam hatiku. Sungguh menyedihkan! Sekarang aku tahu bagaimana rasanya dihakimi.
Semenjak hari itu, aku selalu diselimuti rasa ketakutan. Aku takut apabila aku mati, aku benar-benar masuk neraka. Tetesan air mata tidak sanggup aku bendung. Aku menangis sekencang dan sekuat kemampuanku. ”Aaaaah!” Jeritku tertahan. Aku merasa tidak betah tetap tinggal di kampung, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan kuliah ke kota.
Malam harinya dihadapan kedua orangtuaku, kusampaikan keinginanku untuk kuliah ke kota. Aku merasa di sana aku akan menemukan sesuatu yang akan mengantarkanku ke surga. Entah apa?
”Ayah, ibu, aku ingin kuliah ke kota,” ucapku pada mereka.
Mendengar ucapanku, ayah dan ibu sekejap terdiam dan saling pandang.
”Bagaimana mungkin ayah dan ibu membiarkanmu kuliah ke kota? Lihat kondisimu saat ini!” Ujar ayah padaku.
”Percayalah ayah! Meskipun harus merangkak, aku akan tetap kuliah ke kota,” jawabku penuh keyakinan.
Aku terus berusaha meyakinkan kedua orangtuaku, sampai akhirnya keinginanku direstui. Aku akan kuliah ke kota, Universitas Negeri Padang menjadi tujuanku. Esok harinya, sebelum pergi ku pinta maaf dan ku kecup telapak tangan orangtuaku.

¤¤¤

Terik sang surya begitu sengit bak pedang yang menikam jantungku. Pusing, itulah yang aku rasakan. Aku ingin pergi dan melepaskan diriku dari urusan administrasi pendaftaran mahasiswa baru.
”Gila, banyak sekali orang di sini? Kenapa orang-orang ini begitu betah antrean dan kepanasan, sedangkan aku sudah sangat bosan dan tidak nyaman dengan keadaan ini. Belum lagi dalam kondisi kesehatanku saat ini.”
Aku duduk di suatu tempat yang memberikanku kesejukan. Alhamdulillah kenyamanan aku dapatkan sambil meneguk minuman. Angin sepoi-sepoi membuatku mengantuk dan melemahkan saraf otot-ototku. Tiba-tiba seseorang menyapa dan mengajakku bicara.
”Assalamualaikum. Perkenalkan namaku Alfakir,” sapa lelaki itu.
”Namaku Sinta,” jawabku padanya.
Kami berbicara untuk beberapa saat. Banyak sekali yang kami bicarakan. Laki-laki ini begitu ramah dan juga tampan. Aku malu memiliki pikiran seperti ini, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?

¤¤¤

”Halo, apa kamu masih ingat aku? Aku Alfakir yang siang kemarin bicara dengan kamu. Apa kamu masih ingat aku?”
”Ya, aku masih ingat. Apa kabar?” Kataku balik bertanya.
Ya Tuhan, inikah orang yang akan mengantarkanku ke surga-Mu? Dia begitu baik dan sholeh. Hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu kebaikan hatinya. Terkadang aku seperti paranormal yang bisa menebak orang dari wajahnya. Ahh….ada-ada saja pikiranku.
Sudah beberapa bulan aku menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa. Padahal aku lelah dan tidak bisa berpikir terlalu keras. Setiap kali berpikir keras, darah segar menetes dari hidungku dan aku kehilangan kesadaran. Lagi-lagi kutemukan diriku berada di rumah sakit. Entah siapa yang membawaku ke sini? Oh, Alfakir! Ya dialah orangnya. Aku sempat melihat wajahnya sesaat sebelum benar-benar kehilangan kesadaran. Semenjak kejadian itu, aku semakin dekat dengan Alfakir dan ia begitu mengkhawatirkan keadaanku. Kami merasa begitu dekat dan akhirnya kami memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman. Bersama Alfakir aku melewati jalan yang penuh dengan gelak tawa, air mata, dan kerasnya hati apabila ada ketidakcocokkan di diri kami. Selama itu pula aku merasa kekosongan rohaniku sedikit terisi. Alangkah besar pengaruh Alfakir di diriku. Sholatku semakin terjaga untuk aku penuhi. Kata-kataku pun semakin keluar dengan baik, walaupun terkadang sifat lamaku yang pembangkang kadang-kadang keluar.
Alfakir selalu sabar menghadapiku dan mengajarkanku untuk berubah lebih baik. Sekarang aku sudah memakai hijab sebagai pelindung diriku. Impianku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin menjadi wanita sholeha pada akhir hidupku. Inilah aku yang bernama Sinta. Inilah kisah hidupku yang setiap waktu berusaha berubah menjadi baik sampai ajal menjemputku.
¤¤¤

LOVE TO 9


          Hari ini Nayla mendelik malas dari tempat tidur, uuuh… hari yang sangat tidak diinginkannya pun datang. Nayla sangat tidak siap untuk menjalani hari barunya, ya..karena tidak ada Aldo disana (cowok yang sudah bikin dia tergila-gila sekaligus sakit hati).
         ”Oke,, ini hari pertama gue menginjakkan kaki di sekolah menengah atas(SMA),” sungut Nayla dengan gaya khasnya. Nayla yang masih sibuk menggerutu dan menyumpahi dirinya yang dianggapnya begok karena tidak bisa mempertahankan cowok yang dicintainya.
            ”Woii…pagi begini sudah masem aja tampang lo,” teriak Mia sahabat Nayla sejak SMP.
            ”Daripada kayak begitu mendingan kita buruan ngedaftar ntar keburu rame, lo nggak mau kan gagal jadi anak SMA?” Nayla dengan wajah polosnya menggelengkan kepalanya.
            ”Kalau gitu buruan!” Dengan sangat malas Nayla mengikuti langkah sahabatnya, maklumlah ini hari pertama dimana siswa-siswi yang telah tamat SMP mendaftar untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang setingkat lebih tinggi (SMA).
Berbagai persyaratan untuk dapat masuk ke SMA yang diidamkan tentu membutuhkan perjuangan. Seperti Nayla dan Mia yang rela antre seharian demi menunggu nama mereka dipanggil dan didaftarkan sebagai siswi baru di SMA CARMETTA , yang merupakan SMA favorit.
            ”Gila, begini banget ya penderitaan untuk bisa masuk disekolah ini,” gerutu Mia.
            “Ya sudahlah! yang penting sekarang kita sudah resmi diterima,” sela Nayla mencoba menenangkan sahabatnya yang sibuk menggerutu.
           ”Besok jangan sampai telat dateng! Dan juga persyaratan buat MOS besok ada kan lo catet?” Tanya Nayla pada sahabatnya yang memang pelupa.
            ”Ada kok, tenang aja besok gue nggak bakalan telat,” jawab Mia.
                                                                
ΦΦΦ
            Hari yang dimaksud pun tiba, hari dimana siswa-siswi baru berkumpul untuk mengikuti  kegiatan MOS di SMA CARMETTA.  
            ”Pagi Nay,” sontak Nayla kaget, melihat sohibnya Mia sudah nongol pagi-pagi dirumahnya.
            ”Eeh…ada apa nih, pagi begini lo sudah nyamperin gue, bukannya langsung ke sekolah?”
            ”Gini prend, gue sengaja ke rumah lo biar bisa bareng, sekalian gue minta petenya dong? Nyokap gue nggak sempat beli!” (Yah,,pete salah satu syarat yang diajukan sekolah dalam perlengkapan MOS).
            ”Ye..maunya. Ya sudah ambil aja sendiri di dapur!” Celetuk Nayla sambil nyengir melihat tingkah pola sohibnya itu.
            Nayla dan Mia sudah sejak SMP berteman dan mereka tidak dapat dipisahkan, apalagi Nayla semenjak kejadian itu ia hanya menganggap Mia sebagai satu-satunya sahabat yang dapat ia percaya.
            ”Yuk berangkat! Ntar telat. E…apa semuanya sudah lo bawa?” Sekali lagi Nayla berusaha mengingatkan sahabatnya.
            ”Sudah bos, beres,!” Jawab Mia sambil berkacak pinggang. Nayla sangat bahagia bila melihat tingkah sahabatnya yang satu ini.

            Sesampainya di SMA CARMETTA……

            ”Uuh..gue nervous banget nih, rasanya asing banget,” Nayla tidak dapat menyembunyikan rasa canggungnya.
            ”Tenang aja, ini cuma permulaan, selanjutnya….Here we go!” Mia berusaha meyakinkan Nayla sahabatnya, dan itulah salah satu sikapnya yang membuat Nayla bangga punya sahabat sepertinya, yaitu sikapnya yang pemberani dan pede.

ΦΦΦ

           

Kegiatan MOS segera dimulai, siswa-siswi baru segera disuruh berkumpul di lapangan untuk menyaksikan Apel pagi yang disampaikan oleh kepala sekolah. Yap…sekarang Nayla telah menempati kelas barunya bersama Mia.
            ”Gue nggak nyangka kalau kita sekelas lagi,” kata Mia bahagia, dan Nayla hanya membalasnya dengan sedikit tarikan dibibir. Dia tak bersemangat meskipun sebenarnya Nayla sangat senang bisa sekelas lagi dengan sahabatnya itu, dan sekarang seluruh isi kepalanya hanya dipenuhi bayangan Aldo.
            Tak lama kemudian seseorang memasuki kelas mereka.
            ”Selamat pagi anak-anak,” kata guru yang kini sedang berdiri di depan kelas.         ”Perkenalkan saya guru yang akan membimbing kalian dihari pertama kegiatan MOS ini. Nama saya Melinda, panggil saja saya bu Linda!”
            Satu jam kemudian….
            ”Baiklah waktu pengarahan telah habis, dan sekarang kalian akan dibimbing oleh para kakak senior, saya pamit selamat menikmati kegiatan MOS kalian,” Bu Linda berpamitan dengan siswa-siswi barunya dan pergi meninggalkan kelas. Tak lama kemudian, dua orang kakak senior memasuki kelas kami, merekapun membimbing kami dengan baik, sampai kegiatan pun berakhir.
            ”Aaah….capek juga ya seharian ngikutin kegiatan MOS ini,” teriak Mia.
            ”Yah tepat dugaan gue, nggak akan ada yang menarik dari kegiatan ini, apalagi nggak ada Aldo,” Mia melototkan kedua matanya mendengar kalimat yang dilontarkan Nayla.
            ”Ya ampun Nay, sadar dong lo! Aldo itu sudah nyakitin lo, dia sudah ninggalin lo! Lo itu nggak seharusnya masih memikirkan dia, cowok yang sudah mengkhianati lo!” Mia berusaha meyakinkan Nayla untuk melupakan Aldo karena Aldo dimata Mia hanyalah seorang pecundang yang tega menyakiti hati sahabatnya. “Dan gue yakin banget lo pasti akan menemukan kebahagiaan di sini meski tanpa Aldo.”
         Nayla hanya terdiam mendengar ucapan sahabatnya, di dalam hati Nayla berharap apa yang dikatakan Mia itu benar.
            Hari ini merupakan hari terakhir kegiatan MOS berlangsung. Nayla yang sedari awal sudah merasa bosan karena menurutnya tidak ada yang menarik dari kegiatan ini.
            Ugh…membosankan sekali,” Nayla masih saja menggerutu, tapi entah karena apa ucapan Mia kemaren terngiang di telinganya. Sebenarnya di dalam hati Nayla membenarkan ucapan Mia, hanya saja ia masih belum bisa menghapus Aldo dari pikirannya.
 Cukup lama Nayla melamun, ia pun memalingkan pandangannya dan berjalan ke luar kelas.
            ”Sudah delapan kali gue pacaran, tapi nggak ada satupun yang bertahan, gue pengennya bisa bertahan lama sama satu cowok, tapi kenapa nggak ada yang bisa?” Nayla merasa begitu sedih, sudah kedelapan kali ia pacaran tapi tidak ada yang bisa bertahan lebih dari satu bulan. Nayla merasakan kepalanya pusing, dan ia segera mencari tempat untuk duduk.
            ”Aduh kepala gue kok pusing sekali? Mungkin karena gue terlalu stress mikirin kenyataan hidup gue.”  Nayla kini tengah asik berbicara dengan dirinya sendiri, sampai pada saat…..
            ”Permisi, kamu nggak apa-apa?” Tanya seseorang kepadanya.
Nayla mendongak dan sesaat merasa ada kelainan pada jiwanya.

     

TOKOH-TOKOH INSPIRATIF DALAM NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI


              Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta (Shastra). ‘Sastra’ berarti ”teks yang mengandung instruksi” atau ”pedoman” dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti ”instruksi” atau ”ajaran” dan ’Tra’ yang berarti ”alat” atau ”sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada ”kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sejumlah para ahli telah mendefinisikan tentang pengertian karya sastra. Menurut Mursal Esten (1978 : 9), ”Karya sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)”. Menurut Semi (1988 : 8 ), ”Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya”. Karya sastra menurut Plato adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide. Dengan demikian, karya sastra dapat didefinisikan sebagai hasil imajinasi yang ditambah dengan realita atau gambaran kehidupan yang merupakan kenyataan sosial yang dikembangkan oleh pengarang di dalam karyanya.
            Karya sastra terbagi atas tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya sastra puisi yaitu puisi, pantun, dan syair. Puisi merupakan rekaman dan interprestasi pengalaman manusia yang penting yang diubah dalam wujud yang paling berkesan. Puisi sebagai salah satu genre sastra memiliki struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik terdiri dari bunyi suasana, gaya bahasa, tipografi, pencitraan, diksi, dan nada. Struktur batin terdiri dari amanat dan konvensi budaya. Prosa sebagai genre sastra adalah karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik. Prosa memiliki dua ragam, yaitu prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Prosa fiksi terbagi ke dalam prosa lama dan prosa baru. Prosa lama meliputi dongeng, mite, legenda, sage, fabel, dan dongeng. Prosa baru meliputi cerita pendek, roman, dan novel. Prosa nonfiksi meliputi biografi dan otobiografi, kisah dan lukisan, sejarah, tambo, babad, esai, dan kritik sastra. Prosa terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa meliputi alur, latar, penokohan, tema, gaya bahasa, dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik prosa meliputi amanat dan konvensi budaya. Drama adalah genre sastra yang ketiga. Drama berasal dari bahasa Yunani, draomai yang artinya berbuat, beraksi, dan bertindak. Drama adalah karya sastra yang menampilkan tiruan kehidupan yang dipentaskan di atas panggung. Drama sebagai karya sastra memiliki unsur pembentuk yang sama seperti pada prosa, sedangkan drama sebagai seni pertunjukan meliputi adegan, kostum, tata rias, tata lampu, pentas, pemain, dan penonton.
            Genre sastra seperti yang telah diuraikan sebelumnya terdiri dari puisi, prosa, dan drama. Genre sastra yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah prosa fiksi, yaitu novel. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Novel umumnya bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan menitikberatkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Unsur pembentuk novel terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang membangun dari dalam fiksi itu sendiri, meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan tema. Unsur ekstrinsik ialah unsur yang mempengaruhi penciptaan fiksi dari luar, meliputi amanat, agama, sosial, moral, politik, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Novel yang akan dianalisis adalah sebuah novel best seller karya Ahmad Fuadi yang berjudul ”Negeri 5 Menara”. Penjabaran unsur intrinsik prosa fiksi (novel) adalah sebagai berikut.
            Alur atau plot adalah cerita yang berisi peristiwa atau kejadian yang dihubungkan secara sebab-akibat, artinya peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa yang lain atau sebaliknya. Alur terbagi menjadi tiga macam, yaitu alur progresif (maju), regresif (mundur), dan flashback (maju-mundur-maju). Alur dalam novel Negeri 5 Menara adalah alur flashback (maju-mundur-maju). Ini terlihat dari kisah Alif Fikri yang berada di Washington DC. ”Washington DC, Desember 2003” (N5M, 2009:1)
            Cerita dimulai dari keberadaan alif di Washington DC. Dia menerima pesan singkat dari Atang, teman Sahibul Menara ketika dia belajar di Pondok Madani (PM). Seketika itu pula Alif teringat dengan masa-masa dia dipaksa oleh amaknya untuk melanjutkan sekolah ke madrasah Aliyah, sedangkan dia menginginkan masuk SMA. Kenangan itu sampai kepada kisahnya di masa lalu. ”Ping…bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kanan monitor….Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku.” (N5M, 2009:3-4)
            Pikiran Alif yang terbang jauh ke masa lalu memulai kisahnya sebelum belajar di pondok dan pada saat berada di PM. Kemudian, setelah ingatannya akan masa lalu, cerita kembali kepada masa sekarang, di mana Alif berjanji berjumpa dengan Atang dan Raja di London setelah pesan singkat yang dikirimkan Atang padanya. ”London, Desember 2003. Bunyi gemeretak terdengar setiap sepatuku melindas onggokan salju tipis yang menutupi permukaan trotoar….tidak salah lagi dia Atang. Dia memeluk kami dan menepuk-nepuk punggungku yang dilapisi jaket tebal.” (N5M, 2009:400-402)
            Tokoh dan penokohan. Tokoh adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu cerita. Penokohan adalah karakter atau watak dari tokoh dalam suatu cerita. Tokoh ada yang bersifat protagonis dan ada yang bersifat antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang berwatak baik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak jahat. Tokoh dan penokohan dalam novel Negeri 5 Menara, sebagai berikut.
            Alif Fikri adalah tokoh utama dalam cerita karena penceritaannya lebih dominan ditampilkan. Alif adalah anggota dari Sahibul Menara yang berasal dari Sumatera Barat. Tokoh Alif bersifat protagonis karena dia adalah seorang anak yang penurut kepada orangtuanya, terlebih kepada amaknya. Ini terlihat saat Alif mengikuti keinginan amaknya untuk belajar di pondok, padahal dia menginginkan masuk SMA. ”Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut pintu. Suara cempreng puberitasku memecah keheningan Minggu pagi itu. (N5M, 2009:12)
            Alif sebagai seorang sahabat adalah sahabat yang setia terhadap Sahibul Menaranya. Dia selalu berbagi di saat suka maupun duka. ”Selesai main basket, aku menghampirinya dan menawarkan diri untuk menemaninya ke klinik PM yang berada di sebelah kompleks olahraga. Kurang sehat? Sakit gigi? Yuk kita ke klinik,” ajakku. (N5M, 2009:358)
            Said Jufri adalah anggota Sahibul Menara yang berasal dari Surabaya. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar. Said adalah mantan anak nakal yang insyaf dan ingin belajar agama. Tokoh Said bersifat protagonis karena Said memiliki semangat yang tinggi dan selalu memberikan motivasi kepada anggota Sahibul Menara. ”Mari kita dekap penderitaan dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita semakin kuat lahir dan batin,” katanya memberikan motivasi di depan kelas tanpa ada yang meminta. (N5M, 2009:45)
            Baso Salahuddin adalah anggota Sahibul Menara yang berasal dari Sulawesi. Alasan dia masuk ke PM ingin mendalami agama Islam dan menjadi hafiz-penghapal Al-Quran. Baso adalah tokoh yang protagonis. Ini terlihat dari sikapnya yang paling bersegera kalau disuruh ke mesjid dan rajin mengaji. ”Baso adalah anak yang paling rajin di antara kami dan paling bersegera kalau disuruh ke mesjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal lebih dari enam ribu ayat Al-Quran di luar kepala, dia begitu disiplin menyediakan waktu untuk membaca buku favoritnya: Al-Quran butut yang dibawa dari kampung sendiri.” (N5M, 2009:92)
            Baso selalu bersungguh-sungguh dalam membaca Al-Quran dan buku pelajaran, serta rajin melaksanakan shalat. Dia adalah anak yang paling rajin dan pintar di antara anggota Sahibul Menara. ”Hampir setiap waktu kami melihat Baso membaca buku pelajaran dan Al-Quran dengan sungguh-sungguh. Tapi dia tetap saja menghabiskan waktu untuk belajar, mengaji, shalat, lalu belajar, mengaji, dan shalat.” (N5M, 2009:357)
            Raja Lubis adalah anggota Sahibul Menara yang berasal dari Medan. Dia memiliki badan yang kurus, berkulit bersih, bermata dalam, dan bermuka petak.  Raja adalah tokoh yang bersifat protagonis. Ini tergambarkan dari kepintarannya dan seringnya ia mendapatkan nilai yang tinggi. Raja juga sangat ahli berpidato dan sangat menggebu-gebu mendalami aneka bahasa, khususnya bahasa Inggris. Melalui pidatonya dia mampu membakar semangat teman-temannya. ”Bagiku, Raja telah lama menjadi role model. Sejak hari pertama di PM, dia seorang yang sangat menggebu-gebu mendalami aneka bahasa, khususnya bahasa Inggris. Kemampuan pidato dan debat adalah bidang lain yang dia asah. Berkali-kali dia menyabet juara dalam lomba public speaking antar asrama dan antar kelas, baik bahasa Indonesia, Inggris, atau Arab.” (N5M, 2009:301)
            Atang adalah anggota Sahibul Menara yang berasal dari Bandung. Atang seorang anak yang jangkung berambut pendek tegak, memakai kacamata tebal, dan berwajah putih. Atang adalah tokoh yang protagonis karena sebagai sahabat, dia bermurah hati membagikan ilmunya kepada Sahibul Menara. Atang menyukai teater dan dia sering mengajarkan anggota Sahibul Menara agar menggunakan napas perut supaya suara menjadi bulat dan lantang. ”Atang yang pemain teater mengajarkanku agar menggunakan napas perut supaya suara menjadi bulat dan lantang.” (N5M, 2009:152)
            Dia juga mempunyai keinginan menjadi Teuku yang membaca Al-Quran dengan suara bak gelombang lautan yang bergelora. ”Selain teater, Atang mengaku mempunyai sebuah keinginan terpendam, yaitu menjelma menjadi Teuku yang membaca al-Quran dengan suara bak gelombang lautan yang bergelora. Walau modal suara pas-pasan, Atang tetap membulatkan tekad untuk menjadi anggota Jammiatul Qura, sebuah grup mengasah suara dan kefasihan melantunkan ayat Tuhan.” (N5M, 2009:163)
            Dulmajid adalah anggota Sahibul Menara yang berasal dari Madura. Kulitnya gelap dan wajahnya keras, berkacamata frame dan tebal, sehingga tampak terpelajar. Dulmajid adalah tokoh yang bersifat protagonis karena sebagai teman, dia teman yang paling jujur dan paling setia kawan. Dia rela berkorban demi mewujudkan keinginan teman-temannya. ”Kini giliran Ustad Torik berbicara. Matanya menatap Dul dalam-dalam, tangannya terangkat menunjuk-nunjuk aula. Kami ikut merasakan ketegangan Dul. Kasihan dia telah berkorban melakukan diplomasi melawan Ustad Torik hanya buat kami para umat penggemar Icuk Sugiarto.” (N5M, 2009:181)
            Dulmajid adalah sosok yang selalu serius dalam melakukan pekerjaannya. ”Dulmajid, kawan Maduraku yang lugu dapat jabatan yang mungkin paling tepat: salah seorang dari lima redaktur majalah Syam. Selama ini dia adalah sosok yang selalu serius dan keras hati untuk merebut target-targetnya.” (N5M, 2009:304)
            Amak adalah ibu Alif yang penyayang dan taat beragama. Amak seorang ibu yang selalu mengajarkan anak-anaknya disiplin dalam melakukan segala hal dalam hidup mereka. Amak selalu menyuruh anak-anaknya melakukan dan mengerjakan perintah agama. Selain itu, amak adalah sosok yang keras hati dalam mempertahankan suatu prinsip yang menurutnya benar. Hal-hal tersebut sangat jelas menunjukan bahwa tokoh amak bersifat protagonis.
”Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar makruh nahi munkar, kata amak pelan-pelan.” (N5M, 2009:8)
”Bang, ambo ingin berlaku adil, dan keadilan harus dimulai dari diri sendiri, bahkan dari anak sendiri. Aturannya adalah siapa yang tidak mau praktek menyanyi dapat angka merah, kata amak ketika ayah bertanya, kok tega memberi angka buruk buat anak sendiri.” (N5M, 2009:139)
            Ayah adalah orangtua Alif. Ayah adalah tokoh yang bersifat protagonis. Ayah adalah sosok orangtua yang penyayang dan tenang. Ayah selalu menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta dan dia percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. ”Ayah percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih sering menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir, atau Haji Agus Salim dibanding Buya Hamka. Padahal latar belakang religius ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku adalah ulama yang terkenal di Minangkabau.” (N5M, 2009:10)
            Ustad Salman adalah guru atau pengajar di PM. Beliau bertubuh ramping dan berwajah lonjong. Ustad Salmad adalah tokoh protagonis, terlihat dari sifatnya yang periang dan ramah. Beliau adalah guru yang cerdas.
”Bola matanya yang lincah memancarkan sinar kecerdasan. Pas sekali dengan gerak kaki dan tangannya yang gesit ke setiap sudut kelas…” (N5M, 2009:41)
”Tangan kanannya mengibas-ngibas mengisyaratkan kami masuk. Setiap kami disodori senyum sepuluh senti yang membentang di wajahnya. Laki-laki periang itu adalah Ustad Salman.” (N5M, 2009:42)
            Ustad Faris adalah guru PM yang berasal dari Kalimantan. Beliau mengajar mata pelajaran Al-Quran dan Hadist. Ustad Faris adalah tokoh protagonis. Ini tergambar dari sifat beliau yang selalu mengajarkan murid-muridnya membaca Al-Quran dan hadist dengan menggunakan mata hati. ”Bacalah Al-Quran dan hadist dengan mata hati kalian. Resapi dan lihatlah mereka secara menyeluruh, saling berkait menjadi pelita bagi kehidupan kita, katanya dengan suara bariton yang sangat terjaga vibranya. Kalau dia sudah bicara begini, seisi kelas senyap, diam, dan tafakur.” (N5M, 2009:113)
            Kiai Rais adalah ma’had pimpinan PM. Kiai Rais adalah tokoh protagonis. Ini terlihat dari sosok beliau yang menjadi panutan bagi semua orang selama berada di PM. Dia seorang pendidik dengan pengetahuan dan pengalaman lengkap. Beliau disebut sebagai renaissance man. Beliau selalu memberikan penguatan agama kepada seluruh murid PM.
”Di buku ini ada biografi ringkas beliau. Menurut penulisnya, Kiai Rais cocok disebut sebagai renaissance man, pribadi yang tercerahkan karena aneka ragam ilmu dan kegiatannya.” (N5M, 2009:49)
”Tenang bos. Kata buku ini Kiai Rais itu seperti ’mata air ilmu’. Mengalir terus. Dalam seminggu ini pasti kita akan mendengar dia memberi petuah berkali-kali, jawab Raja penuh harap.” (N5M, 2009:49)
”Suara Kiai Rais yang penuh semangat terngiang-ngiang di telingaku: ’Pasang niat, berusaha keras dan berdoa khusyuk, lambat laun, apa yang kalian perjuangkan akan berhasil’ Ini sunnatullah-hukum Tuhan.”  (N5M, 2009:136)
            Tyson adalah murid senior yang bernama lengkap Rajab Sujai dan menjabat sebagai kepala keamanan pusat, pengendali penegakkan disiplin di PM. Tyson adalah tokoh protagonis, terlihat dari keteladanannya menegakkan kedisiplinan di PM. ”Kerjanya berkeliling pondok, pagi, siang dan malam dengan kereta angin. Dia tahu segala penjuru PM seperti mengenal telapak tangannya. Begitu ada pelanggaran ketertiban di sudut PM mana pun, dia melesat dengan sepedanya ke tempat kejadian dan langsung menegakkan hukum di tempat, saat itu juga, seperti layaknya superhero.” (N5M, 2009:68)
            Tyson ditakuti oleh semua murid di PM karena ketegasannya menegakkan disiplin, tetapi ini dilakukannya dengan niat agar semua murid terbiasa hidup disiplin. ”Tidak heran, semua murid menakutinya. Baru melihat sepeda hitam berkelebat, hidup rasanya sudah was-was. Dan bagi kami berenam, Tyson kami nobatkan sebagai horor nomor satu kami.” (N5M, 2009:68)
            Ustad Torik adalah kepala di kantor pengasuhan (KP) yang merupakan kantor keamanan teratas di PM. Dia adalah ustad senior yang sangat disiplin dan selalu memegang teguh aturan seperti hukum besi. Di balik semua itu, Ustad Torik adalah pribadi yang menyenangkan apabila dia sedang bermain bulutangkis. Ini menunjukkan bahwa Ustad Torik adalah tokoh protagonis. ”Tapi, di lapangan bulutangkis, Ustad Torik adalah pribadi yang lain. Badannya dibungkus kaos dan celana training bergaris kuning seperti punya Bruce Lee. Mukanya animatik dan bahagia. Gerakannya lincah dan agresif. Sesekali dia bercanda kalau pukulannya masuk atau menyangkut net.” (N5M, 2009:180-181)
            Randai adalah teman akrab Alif dari Madrasah Tsanawiyah. Randai adalah tokoh protagonis karena dia adalah teman yang sangat baik. Randai dan Alif sama-sama ingin melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi hanya Randai yang jadi masuk SMA. Randai sering berkirim surat pada Alif dan selalu menceritakan keindahan SMA. ”Alhamdulillah, sesuai cita-cita, aku diterima di SMA Bukittinggi. Sekarang aku sedang maprasmasa perkenalan siswa. Kau tahu Lif, ternyata ’keindahan’ SMA yang kita bayangkan dulu tidak ada apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA benar-benar tempat yang menyenangkan untuk belajar dan bergaul. Guru-gurunya juga yang paling terkenal di Sumatera Barat…” (N5M, 2009:101-102)
            Sarah adalah anak perempuan dari Ustad Khalid. Dia cantik, putih, dan mengenakan jilbab. Sarah adalah tokoh protagonis karena ia adalah anak perempuan yang menjaga auratnya, serta menjaga pergaulannya dengan lawan jenis. ”Di belakang Ustad Khalid muncul Sarah. Jilbab pink melingkar di wajahnya yang bulat putih. Baju kurung dan rok panjangnya sepadan dengan warna tutup kepalanya.” (N5M, 2009:259)
            Latar adalah gambaran tentang waktu, tempat, dan suasana yang digunakan dalam suatu cerita. Latar merupakan sarana memperkuat serta menghidupkan jalan cerita. Unsur latar dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok. Pertama, latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Kedua, latar waktu, yaitu berhubungan dengan ’kapan’ terjadinya peristiwa yang diceritakan. Ketiga, latar sosial, yaitu mengacu pada hal-hal perilaku sosial masyarakat di suatu tempat dalam cerita, seperti adat istiadat, tradisi, kepercayaan, cara berfikir, pandangan hidup, dan sebagainya. Latar juga dibedakan menjadi latar netral, yaitu sebuah karya yang hanya sekadar sebagai tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tidak lebih dari itu dan latar tipikal adalah sebuah karya yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu. Latar dalam novel Negeri 5 Menara, sebagai berikut.
            Latar tempat dalam novel Negeri 5 Menara ialah Washington DC, Danau Maninjau-Sumatera Barat, Pondok Madani-Jawa Timur, dan London. Latar berawal dari Washington DC, saat Alif menerima pesan singkat dari Sahibul Menara, yaitu Atang.
”Washington DC, Desember 2003, jam 16.00….Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya klasik dengan tonggak-tonggak besar…” (N5M, 2009:1)
”ping…bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kanan monitor….Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku.” (N5M, 2009:3-4)
            Kemudian, setelah membaca pesan dari Atang, ingatan Alif terbang ke masa lalu saat ia masih berada di daerah kelahirannya, Danau Maninjau, Sumatera Barat. Masa lalu Alif kembali diceritakan yang bermula dari kisahnya di Danau Maninjau, hingga pada saat dia melanjutkan pendidikan ke Pondok Madani di Jawa Timur.
”Baik-baik di rantau urang, nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama dengan berjihad di jalan Allah, kata beliau….kawasan Danau Maninjau menyerupai kuali raksasa, dan kami sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar.” (N5M, 2009:14-15)
”Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani. Hari ini saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihat berbagai sudut pondok seluas lima belas hektar ini.” (N5M, 2009:30)
            Cerita ditutup dengan latar tempat di London, saat Alif bertemu dengan Atang dan Raja setelah dia menerima pesan singkat dari Atang. Ini sesuai dengan alur novel yang flashback (maju-mundur-maju). ”London, Desember 2003….Pertemuan bersejarah, di tempat yang bersejarah, di jantung Kota London! Alhamdulillah, katanya” (N5M, 2009:402)
            Latar waktu dalam novel Negeri 5 Menara adalah siang hari, sore hari, dan malam hari. Novel ini menceritakan tentang kisah Alif dan Sahibul Menara saat belajar di PM pada siang hingga malam hari.  ”Aku sendiri belum beruntung. Sampai esok harinya jam makan siang, kartu jasusku masih kosong. Aku mulai cemas! Semua orang tampaknya hari ini berkonspirasi untuk berkelakuan baik, sehingga tidak ada pelanggaran yang aku temukan.” (N5M, 2009:80-81)
             Latar waktu saat Alif berada di Washington DC adalah sore hari. Selain itu, latar waktu saat dia mendengar keinginan amaknya agar dia masuk madrasah adalah malam hari.
”Matahari sore menggantung condong ke barat berbentuk piring putih susu. Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading…” (N5M, 2009:1)
”Aku semakin panik, azan Ashar berkumandang tapi kartuku masih kosong.” (N5M, 2009:81)
”Tidak biasanya, malam ini amak tidak mengibarkan senyum….tentang sekolah waang, Lif.” (N5M, 2009:6)
            Latar suasana dalam novel Negeri 5 Menara adalah perasaan gembira, sedih, dan marah. Ini dikarenakan novel ini menceritakan tentang kisah kehidupan tokoh utama, yaitu Alif. Perasaan senang saat dia lulus SMP dengan prestasi yang membanggakan. ”Tepuk tangan murid, orangtua dan guru riuh mengepung aula. Muka dan kupingku bersemu merah tapi jantungku melonjak-lonjak girang.” (N5M, 2009:5)
            Perasaan marah saat mendengar keinginan amaknya untuk melanjutkan sekolah ke madrasah. ”Tapi amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi, tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.” (N5M, 2009:9) 
            Perasaan sedih juga tergambar saat Alif harus mengikuti keinginan amaknya. Jadi, latar suasana dalam novel menggambarkan keadaan batin tokoh utama. ”Bukan gembira, tapi ada rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadaku mendengar persetujuan mereka. Ini jelas bukan pilihan utamaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.” (N5M, 2009:13)
            Latar sosial dalam novel Negeri 5 Menara berupa konflik antar tokoh di mana keinginan amak dengan Alif saling bertentangan. Amak menginginkan alif menjadi seperti Buya Hamka yang ahli ilmu agama. Alif terpaksa mengikuti keinginan amaknya untuk masuk pesantren. Saat itu berbagai gejolak perasaan dirasakan oleh alif, dia tidak terima harus masuk sekolah agama karena cita-citanya ialah menjadi seperti BJ. Habibie. ”Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu.” (N5M, 2009:8)
            Latar sosial dalam novel Negeri 5 Menara ini lebih menggambarkan tentang serentetan aturan yang ketat, lingkungan belajar yang kondusif, dan keikhlasan yang selalu dipertontonkan di setiap sudut PM. Para murid bukan hanya mendapatkan materi secara  kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit dalam berjuang mewujudkan cita-cita.
”….ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini.” (N5M, 2009:51)
”Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu dan kail. Kami para ustad, ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat untuk mau dididik.” (N5M, 2009:50)
            Latar sosial juga terlihat dari cara berfikir para anggota Sahibul Menara yang tidak pernah meremehkan impian walau setinggi apapun. Mereka tetap optimis dapat mewujudkan impian mereka untuk menginjak negera impian mereka masing-masing. Cara berfikir mereka yang menganggap tidak ada impian yang tidak bisa diraih dengan kerja keras. ”Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Tapi lihatlah hari ini. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (N5M, 2009:405)
            Novel ini merupakan karya berlatar tipikal karena memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu. Latar tertentu yang ditonjolkan dalam novel ini yaitu latar sosial. Latar sosial ini berupa cara berpikir para tokoh seperti pada kutipan di atas.
            Sudut pandang adalah cara, strategi, teknik yang dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut pandang dibedakan menjadi tiga macam. Pertama, sudut pandang persona ketiga atau ”Dia” maksudnya, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata-kata gantinya, seperti ia, dia, mereka, dan kalian. Kedua, sudut pandang persona pertama atau “Aku” di mana narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita, si ”Aku” dalam tokoh adalah mengisahkan dirinya sendiri. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si ”Aku”. Ketiga, sudut pandang campuran, yaitu mengisahkan atau menggunakan sudut pandang ”Dia” manatahu dan ”Dia” terbatas atau sudut pandang ”Aku” sebagai tokoh utama dan ”Aku” sebagai tokoh tambahan. Dalam cerita tampil secara bersamaan, bukan satu-satu.     Sudut pandang dalam novel Negeri 5 Menara adalah orang pertama (Aku) monolog akulirik. Ini terlihat jelas dari si penulis yang menceritakan kisah dan pengalamannya dengan menggunakan orang pertama (Aku) sampai cerita ini berakhir. ”Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti seperti profesi sendiri.” (N5M, 2009:8)
            Gaya bahasa menyangkut kemahiran pengarang mempergunakan  bahasa sebagai medium fiksi. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan yang hendak dikemukakan.  Gaya bahasa dalam novel Negeri 5 Menara selain menggunakan bahasa Indonesia, umumnya juga menggunakan bahasa daerah.
            Pertama, menggunakan bahasa daerah Minangkabau. ”…konco palangkin-ku. Teman akrabku.” (N5M, 2009:101). Kedua, menggunakan bahasa daerah Bandung. ”Kita bisa reuni euy. Raja kan juga di London” (N5M, 2009:4). Ketiga, menggunakan bahasa daerah Medan. ”Bos, kau murid macem mana ni, kok bisa gak tahu.”(N5M, 2009:49)
            Novel ini juga menggunakan majas perbandingan. Ini mendukung gaya bahasanya yang inspiratif. ”Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai mengenakan kopiah haji.” (N5M, 2009:1).
            Tema  adalah sebuah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Tema dapat digolongkan menjadi tema tradisional, yaitu tema yang menunjukkan pada tema yang hanya itu-itu saja dan telah lama digunakan dalam berbagai cerita, bersifat wajar dan bisa diterima logika pembaca, kemudian tema non tradisional, yaitu tema yang merupakan sesuatu yang tidak lazim atau tidak sesuai dengan harapan pembaca, bertentangan, dan melawan arus. Novel Negeri 5 Menara bertemakan kesungguhan dan kerja keras untuk mendapatkan impian dan cita-cita yang menjadi kenyataan. Ini terlihat dari perjuangan tokoh utama dalam meraih impian, meskipun belajar di pondok bukanlah pilihan utamanya. Akan tetapi, dia tetap berusaha untuk mewujudkan impiannya menjadi orang hebat dan bisa ke negara impiannya, Amerika. Novel ini bersifat tradisional karena temanya bersifat wajar dan bisa diterima logika pembaca, di mana dengan kesungguhan dan kerja keras, segala impian dan cita-cita memang berkemungkinan dapat diwujudkan.
            Unsur intrinsik dalam novel Negeri 5 Menara adalah seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selain unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga merupakan unsur prosa fiksi. Penjabaran unsur ekstrinsik prosa fiksi (novel), sebagai berikut.
            Nilai agama berkaitan dengan adanya unsur-unsur keagamaan dalam sebuah cerita. Nilai agama dalam novel Negeri 5 Menara digambarkan dari tokoh-tokohnya yang beragama Islam dan ceritanya sangat bernuansa Islami dengan menghadirkan kutipan-kutipan hadist. ”Hadist mengatakan: Innallaha jamiil wahuwa yuhibbul jamal. Sesungguhnya Tuhan itu indah dan mencintai keindahan.” (N5M, 2009:34)
            Nilai agama dalam novel ini juga terlihat dari gambaran kehidupan pesantren dalam mendidik muridnya menjadi umat muslim yang tidak mudah menyerah dalam mencapai impian dengan menggunakan istilah-istilah bahasa Arab sebagai penyemangat. Istilah bahasa Arab ini seperti ’Man Jadda Wajada’ yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Kemudian ’Man Shabara Zhafira’, siapa yang bersabar akan beruntung.
            Nilai sosial berkaitan dengan adanya nilai-nilai sosial dalam kehidupan atau lingkungan masyarakat dalam sebuah cerita. Nilai sosial dalam novel Negeri 5 Menara menggambarkan tentang keharusan menjaga persaudaraan meskipun berbeda latar belakang. Nilai tersebut terlihat dari kisah persahabatan anggota Sahibul Menara yang berbeda asal, baik saat berada di PM maupun setelah kelulusan. ”Seperti kata orang bijak, penderitaan bersamalah yang menjadi semen dari pertemanan yang lekat. Sejak menjadi jasus keamanan pusat, aku, Raja, Said, Dulmajid, Atang, dan Baso lebih sering berkumpul dan belajar bersama. Kalau lelah belajar, kami membahas kemungkinan untuk bebas dari jerat pengawasan keamanan.” (N5M, 2009:92)
            Nilai moral adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan susila, tingkah laku, serta etika dalam kehidupan. Nilai moral dalam novel Negeri 5 Menara yaitu mengenai kedisiplinan. Kedisiplinan pada novel ini sangat ditonjolkan karena pengarang ingin memperlihatkan bahwa kedisiplinan merupakan satu pilar karakter yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi pribadi yang matang dan sukses. Inilah yang menyebabkan PM begitu ketat menerapkan kedisiplinan dalam mendidik para santrinya. ”….ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini.” (N5M, 2009:51)
            Nilai moral lainnya menyangkut etika, yaitu kesopanan karena novel ini menceritakan tentang umat muslim yang memiliki etika yang baik. Ini tergambarkan dari sifat para santri di PM. ”Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani….Semoga Anda menikmati kunjungan ini dan kami bisa melayani dengan sebaik-baiknya.” (N5M, 2009:31)
            Nilai politik adalah nilai-nilai politik yang disampaikan pengarang dalam sebuah karya sastra. Nilai politik yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara tampak dari penanaman pikiran-pikiran tertentu yang berhubungan dengan pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan yang berbasis Islam. Pengarang ingin menunjukkan bahwa pesantren adalah sebuah pendidikan alternatif yang mampu memberikan pengaruh besar untuk sebuah perubahan keadaan yang lebih baik dengan mencetak individu-individu yang baik secara intelektual maupun spiritual. ”Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu dan kail. Kami para ustad, ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula niat untuk mau dididik.” (N5M, 2009:50)
            Kutipan di atas menunjukkan bahwa PM adalah institusi pendidikan yang membantu membentuk manusia yang baik intelektual dan spiritualnya, PM mendidik para santrinya untuk menjadi pribadi yang ikhlas. Dikemukakannya hal-hal ini agar pembaca mengetahui kelebihan-kelebihan pendidikan di Pondok Madani, sehingga berminat untuk belajar di PM. Pengarang ingin memperkenalkan Pondok Madani kepada para pembaca beserta dengan kelebihan yang akan didapatkan bila menuntut ilmu di pesantren (Pondok Madani). Selain itu, pengarang juga ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa pesantren bukan hanya sekadar mengajarkan ilmu agama atau mencetak individu untuk menjadi ustad, tetapi pesantren telah banyak meluluskan orang-orang hebat di negeri ini dan banyak yang berhasil sampai ke luar negeri. Ini terlihat dari keberhasilan para Sahibul Menara dalam mewujudkan impian mereka. Kini mereka berhasil berada di negara impiannya masing-masing.
            Nilai pendidikan berkenaan dengan adanya nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan dalam sebuah cerita. Nilai pendidikan dalam novel Negeri 5 Menara adalah mengenai pendidikan akhlak yang diajarkan di Pondok Madani. Pertama, pendidikan akhlak terhadap Allah SWT, yaitu melaksanakan segala sesuatu semata-mata hanya karena Allah. ”Anak-anakku. Mulai hari ini, bulatkanlah niat di hati kalian. Niatkan menuntut ilmu hanya karena Allah, Lillahi Taala.” (N5M, 2009:50). Nilai pendidikan lainnya ialah pendidikan akhlak terhadap Allah yang mengajarkan untuk selalu memohon bantuan dan petunjuk kepada Allah SWT. ”Sebelum kita tutup acara malam ini, mari kita berdoa untuk misi utama hidup kita, yaitu rahmatan lil alamin,…” (N5M, 2009:52)
            Kedua, pendidikan akhlak terhadap diri sendiri. Terlihat pada sikap tokoh utama yang dapat menerima keadaan dirinya dengan ikhlas. ”Melihat uang di kantong terbatas, aku memutuskan untuk membeli lemari bekas saja. Untuk itu aku harus memilih baik-baik lemari yang masih bisa dipakai.” (N5M, 2009:62)
            Nilai pendidikan akhlak terhadap sesama manusia digambarkan pada sikap Raja yang ikhlas berbagi pengetahuan kepada Sahibul Menara. ”…..Raja dengan bersemangat. Dia selalu dengan senang hati berbagi informasi apa saja, melebihi dari apa yang kami tanya….Bagusnya, dia tidak pelit dengan informasi.” (N5M, 2009:61)
            Ketiga, nilai pendidikan akhlak kepada orangtua, seperti mematuhi perintah orangtua. Ini terlihat dari tokoh utama yang mematuhi keinginan amaknya masuk sekolah agama meskipun dia menginginkan masuk SMA. ”Amak, kalau memang harus sekolah agama, ambo ingin masuk pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut pintu. Suara cempreng puberitasku memecah keheningan Minggu pagi itu. (N5M, 2009:12)
            Nilai pendidikan lainnya yang dapat dipetik dalam novel ini adalah keoptimisan dalam mewujudkan mimpi melalui ikhtiar, yang terlihat dari terwujudnya impian semua anggota Sahibul Menara untuk berada di negara impian mereka masing-masing. ”Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Tapi lihatlah hari ini. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (N5M, 2009:405)
            Nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi dalam cerita. Nilai ekonomi dalam novel Negeri 5 Menara terlihat dari perekonomian anggota Sahibul Menara, yaitu Baso yang telah banyak menunggak uang makan di PM. Di PM para santri tidak pernah dikeluarkan hanya karena tidak membayar uang sekolah. PM banyak memberikan beasiswa kepada para santri yang kurang baik perekonomiannya, hanya saja hal tersebut diberikan tanpa pemberitahuan resmi kepada santri yang bersangkutan.
”Sudah dua bulan aku tidak bayar uang makan.” (N5M, 2009:359)
”PM selama ini tidak pernah mengeluarkan murid hanya karena tidak bayar uang sekolah. Memang, walau PM tidak menggembar-gemborkan ada beasiswa, sesungguhnya sekolah kami banyak memberikan beasiswa tanpa kami sadari.” (N5M, 2009:359)
            Nilai budaya adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat yang diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya. Nilai budaya dalam novel Negeri 5 Menara yang paling ditonjolkan adalah budaya Minangkabau dari sosok Alif. Alif berasal dari Sumatera Barat, tepatnya di Desa Bayur, Danau Maninjau. Selain itu, juga diceritakan mengenai makanan khas orang Minang, yaitu rendang. Kata-kata dalam bahasa Minang juga banyak dihadirkan dalam novel ini.
Buyuang, sejak waang masih dikandungan, amak selalu punya cita-cita, mata amak kembali menatapku.” (N5M, 2009:8)
”Ini rendang spesial karena dimasak amak yang lahir di Kapau, sebuah desa kecil di Bukittinggi. Kapau terkenal dengan masakan lezat yang berlinang-linang kuah santan.” (N5M, 2009:14)
            Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Ada beberapa pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Negeri 5 Menara. Pertama, berjuanglah dan bekerjakeraslah untuk mewujudkan cita-cita dan impian. Kedua, patuhlah kepada ibu karena surga berada di bawah telapak kaki ibu, raihlah ridho Allah dan orangtua karena itulah yang akan mengantarkan kita kepada kesuksesan dunia dan akhirat. Ketiga, inti hidup adalah kombinasi niat ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakal. Semua pesan ini digambarkan dari keputusan alif untuk mengikuti keinginan amaknya, kerja kerasnya untuk tetap belajar di pondok, dan keikhlasannya untuk dididik oleh para ustad di PM, sampai akhirnya ia berhasil menginjakkan kaki di negara impiannya, Amerika. Dengan kesungguhan dan ridho Allah serta orangtua telah mengantarkan Alif kepada kesuksesan. Kerja keras juga diperlihatkan dari anggota Sahibul Menara lainnya, di mana mereka juga berhasil meraih impiannya masing-masing. ”Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Tapi lihatlah hari ini. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (N5M, 2009:405)
            Sinopsis novel Negeri 5 Menara sebagai berikut. Man Jadda Wajada (Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil) begitulah mantra luar biasa yang telah membawa Alif sampai pada puncak kesuksesannya. Berangkat dari Maninjau menuju ke Pondok Madani (Gontor) dengan setengah hati karena dilemanya dia tidak bisa melanjutkan ke SMA, tidak seperti teman dekatnya, Randai. Akan tetapi, keputusan setengah hatinya itu adalah pilihan tepat dari kehendak ibunya. Manajemen pendidikan dan pembelajaran di PM telah banyak mendidiknya menjadi sosok yang luar biasa bersama lima teman dekatnya yang dikenal dengan Sahibul Menara, yaitu Raja, Baso, Dulmajid, Atang, dan Said. Persahabatan yang terjalin erat, saling membantu satu sama lain baik dalam urusan pelajaran maupun urusan lainnya. Satu sama lain memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Itulah yang membuat mereka semakin akrab, kompak, dan saling mengisi satu sama lain. Aturan yang ketat, disiplin tinggi, tegas, dan hukum ditegakkan sesuai dengan aturan yang berlaku telah membuat mereka semakin kuat dan menjadi sosok yang pantang menyerah menghadapi hidup. Keikhlasan, ketulusan, dan motivasi yang tinggi dari para ustad dan kiai di PM dalam mendidik mereka berbuah hasil yang lebat. Sampai pada akhirnya semangat, kesungguhan yang kuat, dan disertai doa, telah mengantarkan mereka mencapai impiannya masing-masing.
            Novel Negeri 5 Menara memiliki banyak kelebihan. Novel ini sangat luar biasa, penuh motivasi dan inspirasi, mengisahkan tentang perjuangan yang tinggi dalam meraih cita-cita, persahabatan yang saling memberi dan menasihati, serta menggambarkan sistem pendidikan dan pembelajaran yang diterapkan di Pondok Madani yang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan, kejujuran dan tanggung jawab. Mantra ’Man Jadda Wajada’ dan ’Man Shabara Zhafira’ mampu memberikan motivasi pada para pembaca untuk meraih cita-cita dan impiannya. Novel ini sangat menarik dan inspiratif. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini juga sangat menarik. Ringan, deskriptif dan mengalir, serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah. Di dalam novel ini terdapat bahasa daerah Maninjau, Medan, Sunda, dan Arab lengkap dengan catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Fisik dari novel ini juga menarik. Kover dengan desain gambar lima menara serta warna kover yang menyerupai warna senja, ilustrasi lingkungan pondok berupa desain gambar, dan pembatas buku yang tersedia turut menambah daya tarik dari novel ini.
            Kekurangan dari novel Negeri 5 Menara terlihat dari klimaks cerita yang kurang menonjol, sehingga pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca akan merasa cerita belum selesai setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan tidak ingin melebih-lebihkannya. Mungkin akan lebih baik jika penulis membuat konflik-konflik yang lebih tegang atau menuliskan akhir cerita yang lebih memukau pembaca. Penulis sangat mungkin menyisipkan dialog hati agar menyentuh kesadaran para pembaca. Jika ini dilakukan, novel ini akan lebih menginspirasi banyak pihak di tengah carut-marutnya pendidikan moral di negeri kita.