Sastra merupakan kata serapan dari
bahasa Sanskerta (Shastra). ‘Sastra’ berarti ”teks yang mengandung instruksi”
atau ”pedoman” dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti ”instruksi” atau ”ajaran” dan
’Tra’ yang berarti ”alat” atau ”sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan
untuk merujuk kepada ”kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki
arti atau keindahan tertentu. Sejumlah para ahli telah mendefinisikan tentang
pengertian karya sastra. Menurut
Mursal Esten (1978 : 9), ”Karya
sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai
manifestasi kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa sebagai medium dan
memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)”. Menurut
Semi (1988 : 8 ),
”Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya”.
Karya sastra menurut
Plato adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan
(mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan
sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin
rendah dan jauh dari dunia ide. Dengan demikian, karya sastra dapat
didefinisikan sebagai hasil imajinasi yang ditambah dengan realita atau
gambaran kehidupan yang merupakan kenyataan sosial yang dikembangkan oleh
pengarang di dalam karyanya.
Karya sastra terbagi atas tiga
jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah karya sastra yang terikat
dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya sastra puisi yaitu puisi,
pantun, dan syair. Puisi merupakan rekaman dan interprestasi pengalaman manusia
yang penting yang diubah dalam wujud yang paling berkesan. Puisi sebagai salah
satu genre sastra memiliki struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik
terdiri dari bunyi suasana, gaya bahasa, tipografi, pencitraan, diksi, dan
nada. Struktur batin terdiri dari amanat dan konvensi budaya. Prosa sebagai
genre sastra adalah karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin
pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang
menimbulkan kesan estetik. Prosa memiliki dua ragam, yaitu prosa fiksi dan
prosa nonfiksi. Prosa fiksi terbagi ke dalam prosa lama dan prosa baru. Prosa
lama meliputi dongeng, mite, legenda, sage, fabel, dan dongeng. Prosa baru
meliputi cerita pendek, roman, dan novel. Prosa nonfiksi meliputi biografi dan
otobiografi, kisah dan lukisan, sejarah, tambo, babad, esai, dan kritik sastra.
Prosa terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik prosa
meliputi alur, latar, penokohan, tema, gaya bahasa, dan sudut pandang. Unsur
ekstrinsik prosa meliputi amanat dan konvensi budaya. Drama adalah genre sastra
yang ketiga. Drama berasal dari bahasa Yunani, draomai yang artinya berbuat,
beraksi, dan bertindak. Drama adalah karya sastra yang menampilkan tiruan
kehidupan yang dipentaskan di atas panggung. Drama sebagai karya sastra
memiliki unsur pembentuk yang sama seperti pada prosa, sedangkan drama sebagai
seni pertunjukan meliputi adegan, kostum, tata rias, tata lampu, pentas,
pemain, dan penonton.
Genre sastra seperti yang telah
diuraikan sebelumnya terdiri dari puisi, prosa, dan drama. Genre sastra yang
akan dibahas dalam pembahasan ini adalah prosa fiksi, yaitu novel. Novel adalah
sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk
cerita. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari
cerpen dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau
sajak. Novel umumnya bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam
kehidupan sehari-hari dengan menitikberatkan pada sisi-sisi yang aneh dari
naratif tersebut. Unsur pembentuk novel terdiri dari unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang membangun dari dalam fiksi itu
sendiri, meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa,
dan tema. Unsur ekstrinsik ialah unsur yang mempengaruhi penciptaan fiksi dari
luar, meliputi amanat, agama, sosial, moral, politik, pendidikan, ekonomi, dan
budaya. Novel yang akan dianalisis adalah sebuah novel best seller karya Ahmad Fuadi yang berjudul ”Negeri 5 Menara”. Penjabaran unsur intrinsik prosa fiksi (novel) adalah sebagai berikut.
Alur
atau plot adalah cerita yang berisi peristiwa atau kejadian yang
dihubungkan secara sebab-akibat, artinya peristiwa yang satu disebabkan oleh peristiwa
yang lain atau sebaliknya. Alur terbagi menjadi tiga macam, yaitu alur
progresif (maju), regresif (mundur), dan flashback (maju-mundur-maju). Alur
dalam novel Negeri 5 Menara adalah
alur flashback (maju-mundur-maju). Ini terlihat dari kisah Alif Fikri yang
berada di Washington DC. ”Washington DC, Desember 2003” (N5M, 2009:1)
Cerita dimulai dari keberadaan alif
di Washington DC. Dia menerima pesan singkat dari Atang, teman Sahibul Menara ketika
dia belajar di Pondok Madani (PM). Seketika itu pula Alif teringat dengan
masa-masa dia dipaksa oleh amaknya untuk melanjutkan sekolah ke madrasah
Aliyah, sedangkan dia menginginkan masuk SMA. Kenangan itu sampai kepada
kisahnya di masa lalu. ”Ping…bunyi halus dari messenger menghentikan tanganku. Sebuah pesan pendek muncul
berkedip-kedip di ujung kanan monitor….Aku tersenyum. Pikiranku langsung
terbang jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku.” (N5M, 2009:3-4)
Pikiran Alif yang terbang jauh ke
masa lalu memulai kisahnya sebelum belajar di pondok dan pada saat berada di
PM. Kemudian, setelah ingatannya akan masa lalu, cerita kembali kepada masa
sekarang, di mana Alif berjanji berjumpa dengan Atang dan Raja di London
setelah pesan singkat yang dikirimkan Atang padanya. ”London, Desember 2003.
Bunyi gemeretak terdengar setiap sepatuku melindas onggokan salju tipis yang
menutupi permukaan trotoar….tidak salah lagi dia Atang. Dia memeluk kami dan
menepuk-nepuk punggungku yang dilapisi jaket tebal.” (N5M, 2009:400-402)
Tokoh dan penokohan. Tokoh
adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu cerita. Penokohan adalah karakter
atau watak dari tokoh dalam suatu cerita. Tokoh ada yang bersifat protagonis
dan ada yang bersifat antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang berwatak
baik. Tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak jahat. Tokoh dan penokohan dalam
novel Negeri 5 Menara, sebagai
berikut.
Alif Fikri adalah tokoh utama dalam
cerita karena penceritaannya lebih dominan ditampilkan. Alif adalah anggota
dari Sahibul Menara yang berasal dari Sumatera Barat. Tokoh Alif bersifat protagonis
karena dia adalah seorang anak yang penurut kepada orangtuanya, terlebih kepada
amaknya. Ini terlihat saat Alif mengikuti keinginan amaknya untuk belajar di
pondok, padahal dia menginginkan masuk SMA. ”Amak, kalau memang harus sekolah
agama, ambo ingin masuk pondok saja
di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut pintu. Suara
cempreng puberitasku memecah keheningan Minggu pagi itu. (N5M, 2009:12)
Alif sebagai seorang sahabat adalah
sahabat yang setia terhadap Sahibul Menaranya. Dia selalu berbagi di saat suka
maupun duka. ”Selesai main basket, aku menghampirinya dan menawarkan diri untuk
menemaninya ke klinik PM yang berada di sebelah kompleks olahraga. Kurang
sehat? Sakit gigi? Yuk kita ke klinik,” ajakku. (N5M, 2009:358)
Said Jufri adalah anggota Sahibul
Menara yang berasal dari Surabaya. Dia memiliki postur tubuh yang tinggi dan
besar. Said adalah mantan anak nakal yang insyaf dan ingin belajar agama. Tokoh
Said bersifat protagonis karena Said memiliki semangat yang tinggi dan selalu
memberikan motivasi kepada anggota Sahibul Menara. ”Mari kita dekap penderitaan
dan berjuang keras menuntut ilmu, supaya kita semakin kuat lahir dan batin,”
katanya memberikan motivasi di depan kelas tanpa ada yang meminta. (N5M, 2009:45)
Baso Salahuddin adalah anggota
Sahibul Menara yang berasal dari Sulawesi. Alasan dia masuk ke PM ingin
mendalami agama Islam dan menjadi hafiz-penghapal
Al-Quran. Baso adalah tokoh yang protagonis.
Ini terlihat dari sikapnya yang paling bersegera kalau disuruh ke mesjid dan
rajin mengaji. ”Baso adalah anak yang paling rajin di antara kami dan paling
bersegera kalau disuruh ke mesjid. Sejak mendeklarasikan niat untuk menghapal
lebih dari enam ribu ayat Al-Quran di luar kepala, dia begitu disiplin
menyediakan waktu untuk membaca buku favoritnya: Al-Quran butut yang dibawa
dari kampung sendiri.” (N5M, 2009:92)
Baso selalu bersungguh-sungguh dalam
membaca Al-Quran dan buku pelajaran, serta rajin melaksanakan shalat. Dia
adalah anak yang paling rajin dan pintar di antara anggota Sahibul Menara. ”Hampir
setiap waktu kami melihat Baso membaca buku pelajaran dan Al-Quran dengan
sungguh-sungguh. Tapi dia tetap saja menghabiskan waktu untuk belajar, mengaji,
shalat, lalu belajar, mengaji, dan shalat.” (N5M, 2009:357)
Raja Lubis adalah anggota Sahibul
Menara yang berasal dari Medan. Dia memiliki badan yang kurus, berkulit bersih,
bermata dalam, dan bermuka petak. Raja
adalah tokoh yang bersifat protagonis. Ini tergambarkan dari kepintarannya dan
seringnya ia mendapatkan nilai yang tinggi. Raja juga sangat ahli berpidato dan
sangat menggebu-gebu mendalami aneka bahasa, khususnya bahasa Inggris. Melalui
pidatonya dia mampu membakar semangat teman-temannya. ”Bagiku, Raja telah lama
menjadi role model. Sejak hari
pertama di PM, dia seorang yang sangat menggebu-gebu mendalami aneka bahasa,
khususnya bahasa Inggris. Kemampuan pidato dan debat adalah bidang lain yang
dia asah. Berkali-kali dia menyabet juara dalam lomba public speaking antar asrama dan antar kelas, baik bahasa
Indonesia, Inggris, atau Arab.” (N5M, 2009:301)
Atang adalah anggota Sahibul Menara
yang berasal dari Bandung. Atang seorang anak yang jangkung berambut pendek
tegak, memakai kacamata tebal, dan berwajah putih. Atang adalah tokoh yang
protagonis karena sebagai sahabat, dia bermurah hati membagikan ilmunya kepada
Sahibul Menara. Atang menyukai teater dan dia sering mengajarkan anggota
Sahibul Menara agar menggunakan napas perut supaya suara menjadi bulat dan
lantang. ”Atang yang pemain teater mengajarkanku agar menggunakan napas perut
supaya suara menjadi bulat dan lantang.” (N5M, 2009:152)
Dia juga mempunyai keinginan menjadi
Teuku yang membaca Al-Quran dengan suara bak gelombang lautan yang bergelora. ”Selain
teater, Atang mengaku mempunyai sebuah keinginan terpendam, yaitu menjelma
menjadi Teuku yang membaca al-Quran dengan suara bak gelombang lautan yang
bergelora. Walau modal suara pas-pasan, Atang tetap membulatkan tekad untuk
menjadi anggota Jammiatul Qura, sebuah grup mengasah suara dan kefasihan
melantunkan ayat Tuhan.” (N5M, 2009:163)
Dulmajid adalah anggota Sahibul
Menara yang berasal dari Madura. Kulitnya gelap dan wajahnya keras, berkacamata
frame dan tebal, sehingga tampak terpelajar. Dulmajid adalah tokoh yang
bersifat protagonis karena sebagai teman, dia teman yang paling jujur dan
paling setia kawan. Dia rela berkorban demi mewujudkan keinginan
teman-temannya. ”Kini giliran Ustad Torik berbicara. Matanya menatap Dul
dalam-dalam, tangannya terangkat menunjuk-nunjuk aula. Kami ikut merasakan
ketegangan Dul. Kasihan dia telah berkorban melakukan diplomasi melawan Ustad
Torik hanya buat kami para umat penggemar Icuk Sugiarto.” (N5M, 2009:181)
Dulmajid adalah sosok yang selalu
serius dalam melakukan pekerjaannya. ”Dulmajid, kawan Maduraku yang lugu dapat
jabatan yang mungkin paling tepat: salah seorang dari lima redaktur majalah
Syam. Selama ini dia adalah sosok yang selalu serius dan keras hati untuk
merebut target-targetnya.” (N5M, 2009:304)
Amak adalah ibu Alif yang penyayang
dan taat beragama. Amak seorang ibu yang selalu mengajarkan anak-anaknya
disiplin dalam melakukan segala hal dalam hidup mereka. Amak selalu menyuruh
anak-anaknya melakukan dan mengerjakan perintah agama. Selain itu, amak adalah
sosok yang keras hati dalam mempertahankan suatu prinsip yang menurutnya benar.
Hal-hal tersebut sangat jelas menunjukan bahwa tokoh amak bersifat protagonis.
”Amak ingin
anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan
yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar makruh nahi munkar, kata amak
pelan-pelan.” (N5M, 2009:8)
”Bang, ambo ingin berlaku adil, dan keadilan
harus dimulai dari diri sendiri, bahkan dari anak sendiri. Aturannya adalah
siapa yang tidak mau praktek menyanyi dapat angka merah, kata amak ketika ayah
bertanya, kok tega memberi angka buruk buat anak sendiri.” (N5M, 2009:139)
Ayah adalah orangtua Alif. Ayah
adalah tokoh yang bersifat protagonis. Ayah adalah sosok orangtua yang
penyayang dan tenang. Ayah selalu menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta dan
dia percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. ”Ayah
percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih
sering menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta, Bung Sjahrir, Pak Natsir, atau
Haji Agus Salim dibanding Buya Hamka. Padahal latar belakang religius ayahku
tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku adalah ulama yang terkenal di Minangkabau.”
(N5M, 2009:10)
Ustad Salman adalah guru atau
pengajar di PM. Beliau bertubuh ramping dan berwajah lonjong. Ustad Salmad
adalah tokoh protagonis, terlihat dari sifatnya yang periang dan ramah. Beliau
adalah guru yang cerdas.
”Bola
matanya yang lincah memancarkan sinar kecerdasan. Pas sekali dengan gerak kaki
dan tangannya yang gesit ke setiap sudut kelas…” (N5M, 2009:41)
”Tangan
kanannya mengibas-ngibas mengisyaratkan kami masuk. Setiap kami disodori senyum
sepuluh senti yang membentang di wajahnya. Laki-laki periang itu adalah Ustad
Salman.” (N5M, 2009:42)
Ustad Faris adalah guru PM yang
berasal dari Kalimantan. Beliau mengajar mata pelajaran Al-Quran dan Hadist.
Ustad Faris adalah tokoh protagonis. Ini tergambar dari sifat beliau yang
selalu mengajarkan murid-muridnya membaca Al-Quran dan hadist dengan
menggunakan mata hati. ”Bacalah Al-Quran dan hadist dengan mata hati kalian.
Resapi dan lihatlah mereka secara menyeluruh, saling berkait menjadi pelita
bagi kehidupan kita, katanya dengan suara bariton yang sangat terjaga vibranya.
Kalau dia sudah bicara begini, seisi kelas senyap, diam, dan tafakur.” (N5M, 2009:113)
Kiai Rais
adalah ma’had pimpinan PM. Kiai Rais adalah tokoh protagonis. Ini terlihat dari
sosok beliau yang menjadi panutan bagi semua orang selama berada di PM. Dia
seorang pendidik dengan pengetahuan dan pengalaman lengkap. Beliau disebut
sebagai renaissance man. Beliau
selalu memberikan penguatan agama kepada seluruh murid PM.
”Di buku ini ada biografi ringkas beliau. Menurut penulisnya, Kiai Rais
cocok disebut sebagai renaissance man,
pribadi yang tercerahkan karena aneka ragam ilmu dan kegiatannya.” (N5M, 2009:49)
”Tenang bos. Kata buku ini Kiai Rais itu seperti ’mata air ilmu’. Mengalir
terus. Dalam seminggu ini pasti kita akan mendengar dia memberi petuah
berkali-kali, jawab Raja penuh harap.” (N5M, 2009:49)
”Suara Kiai Rais yang penuh semangat terngiang-ngiang di telingaku:
’Pasang niat, berusaha keras dan berdoa khusyuk, lambat laun, apa yang kalian
perjuangkan akan berhasil’ Ini sunnatullah-hukum
Tuhan.” (N5M, 2009:136)
Tyson adalah
murid senior yang bernama lengkap Rajab Sujai dan menjabat sebagai kepala
keamanan pusat, pengendali penegakkan disiplin di PM. Tyson adalah tokoh
protagonis, terlihat dari keteladanannya menegakkan kedisiplinan di PM.
”Kerjanya berkeliling pondok, pagi, siang dan malam dengan kereta angin. Dia
tahu segala penjuru PM seperti mengenal telapak tangannya. Begitu ada
pelanggaran ketertiban di sudut PM mana pun, dia melesat dengan sepedanya ke
tempat kejadian dan langsung menegakkan hukum di tempat, saat itu juga, seperti
layaknya superhero.” (N5M, 2009:68)
Tyson ditakuti
oleh semua murid di PM karena ketegasannya menegakkan disiplin, tetapi ini
dilakukannya dengan niat agar semua murid terbiasa hidup disiplin. ”Tidak
heran, semua murid menakutinya. Baru melihat sepeda hitam berkelebat, hidup
rasanya sudah was-was. Dan bagi kami berenam, Tyson kami nobatkan sebagai horor
nomor satu kami.” (N5M, 2009:68)
Ustad Torik
adalah kepala di kantor pengasuhan (KP) yang merupakan kantor keamanan teratas
di PM. Dia adalah ustad senior yang sangat disiplin dan selalu memegang teguh
aturan seperti hukum besi. Di balik semua itu, Ustad Torik adalah pribadi yang
menyenangkan apabila dia sedang bermain bulutangkis. Ini menunjukkan bahwa
Ustad Torik adalah tokoh protagonis. ”Tapi, di lapangan bulutangkis, Ustad
Torik adalah pribadi yang lain. Badannya dibungkus kaos dan celana training
bergaris kuning seperti punya Bruce Lee. Mukanya animatik dan bahagia.
Gerakannya lincah dan agresif. Sesekali dia bercanda kalau pukulannya masuk
atau menyangkut net.” (N5M, 2009:180-181)
Randai adalah
teman akrab Alif dari Madrasah Tsanawiyah. Randai adalah tokoh protagonis
karena dia adalah teman yang sangat baik. Randai dan Alif sama-sama ingin
melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi hanya Randai yang jadi masuk SMA. Randai
sering berkirim surat pada Alif dan selalu menceritakan keindahan SMA. ”Alhamdulillah,
sesuai cita-cita, aku diterima di SMA Bukittinggi. Sekarang aku sedang mapras—masa perkenalan siswa. Kau
tahu Lif, ternyata ’keindahan’ SMA yang kita bayangkan dulu tidak ada
apa-apanya dengan yang sebenarnya. SMA benar-benar tempat yang menyenangkan
untuk belajar dan bergaul. Guru-gurunya juga yang paling terkenal di Sumatera
Barat…” (N5M, 2009:101-102)
Sarah adalah
anak perempuan dari Ustad Khalid. Dia cantik, putih, dan mengenakan jilbab.
Sarah adalah tokoh protagonis karena ia adalah anak perempuan yang menjaga
auratnya, serta menjaga pergaulannya dengan lawan jenis. ”Di belakang Ustad
Khalid muncul Sarah. Jilbab pink melingkar di wajahnya yang bulat putih. Baju
kurung dan rok panjangnya sepadan dengan warna tutup kepalanya.” (N5M, 2009:259)
Latar adalah gambaran tentang waktu,
tempat, dan suasana yang digunakan dalam suatu cerita. Latar merupakan sarana
memperkuat serta menghidupkan jalan cerita. Unsur latar dapat dibedakan dalam
tiga unsur pokok. Pertama, latar
tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Kedua, latar waktu, yaitu berhubungan
dengan ’kapan’ terjadinya peristiwa yang diceritakan. Ketiga, latar sosial, yaitu mengacu pada hal-hal perilaku sosial
masyarakat di suatu tempat dalam cerita, seperti adat istiadat, tradisi,
kepercayaan, cara berfikir, pandangan hidup, dan sebagainya. Latar juga
dibedakan menjadi latar netral, yaitu sebuah karya yang hanya sekadar sebagai
tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan, tidak lebih dari itu dan latar
tipikal adalah sebuah karya yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar
tertentu. Latar dalam novel Negeri 5
Menara, sebagai berikut.
Latar tempat dalam novel Negeri 5 Menara ialah Washington DC,
Danau Maninjau-Sumatera Barat, Pondok Madani-Jawa Timur, dan London. Latar
berawal dari Washington DC, saat Alif menerima pesan singkat dari Sahibul
Menara, yaitu Atang.
”Washington DC, Desember 2003, jam 16.00….Tidak jauh, tampak The
Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang anggun putih gading, bergaya
klasik dengan tonggak-tonggak besar…” (N5M, 2009:1)
”ping…bunyi halus dari messenger
menghentikan tanganku. Sebuah pesan pendek muncul berkedip-kedip di ujung kanan
monitor….Aku tersenyum. Pikiranku langsung terbang jauh ke masa lalu. Masa yang
sangat kuat terpatri dalam hatiku.” (N5M, 2009:3-4)
Kemudian,
setelah membaca pesan dari Atang, ingatan Alif terbang ke masa lalu saat ia
masih berada di daerah kelahirannya, Danau Maninjau, Sumatera Barat. Masa lalu
Alif kembali diceritakan yang bermula dari kisahnya di Danau Maninjau, hingga
pada saat dia melanjutkan pendidikan ke Pondok Madani di Jawa Timur.
”Baik-baik di rantau urang,
nak. Amak percaya ini perjalanan untuk membela agama. Belajar ilmu agama sama
dengan berjihad di jalan Allah, kata beliau….kawasan Danau Maninjau menyerupai
kuali raksasa, dan kami sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar.” (N5M, 2009:14-15)
”Bapak, Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang
di Pondok Madani. Hari ini saya akan menemani Anda semua untuk keliling melihat
berbagai sudut pondok seluas lima belas hektar ini.” (N5M, 2009:30)
Cerita
ditutup dengan latar tempat di London, saat Alif bertemu dengan Atang dan Raja
setelah dia menerima pesan singkat dari Atang. Ini sesuai dengan alur novel yang
flashback (maju-mundur-maju). ”London, Desember 2003….Pertemuan bersejarah, di
tempat yang bersejarah, di jantung Kota London! Alhamdulillah, katanya” (N5M, 2009:402)
Latar waktu dalam novel Negeri 5 Menara adalah siang hari, sore hari,
dan malam hari. Novel ini menceritakan tentang kisah Alif dan Sahibul Menara
saat belajar di PM pada siang hingga malam hari. ”Aku sendiri belum beruntung. Sampai esok
harinya jam makan siang, kartu jasusku masih kosong. Aku mulai cemas! Semua
orang tampaknya hari ini berkonspirasi untuk berkelakuan baik, sehingga tidak
ada pelanggaran yang aku temukan.” (N5M, 2009:80-81)
Latar waktu saat Alif berada di Washington DC
adalah sore hari. Selain itu, latar waktu saat dia mendengar keinginan amaknya
agar dia masuk madrasah adalah malam hari.
”Matahari sore menggantung condong ke barat berbentuk piring putih
susu. Tidak jauh, tampak The Capitol, gedung parlemen Amerika Serikat yang
anggun putih gading…” (N5M, 2009:1)
”Aku semakin panik, azan Ashar berkumandang tapi kartuku masih
kosong.” (N5M, 2009:81)
”Tidak biasanya, malam ini amak tidak mengibarkan senyum….tentang
sekolah waang, Lif.” (N5M, 2009:6)
Latar suasana dalam novel Negeri 5 Menara adalah perasaan gembira,
sedih, dan marah. Ini dikarenakan novel ini menceritakan tentang kisah kehidupan
tokoh utama, yaitu Alif. Perasaan senang saat dia lulus SMP dengan prestasi
yang membanggakan. ”Tepuk tangan murid, orangtua dan guru riuh mengepung aula.
Muka dan kupingku bersemu merah tapi jantungku melonjak-lonjak girang.” (N5M, 2009:5)
Perasaan
marah saat mendengar keinginan amaknya untuk melanjutkan sekolah ke madrasah. ”Tapi
amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu
agama. Ambo ingin menjadi insinyur
dan ahli ekonomi, tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas.” (N5M, 2009:9)
Perasaan sedih
juga tergambar saat Alif harus mengikuti keinginan amaknya. Jadi, latar suasana
dalam novel menggambarkan keadaan batin tokoh utama. ”Bukan gembira, tapi ada
rasa nyeri yang aneh bersekutu di dadaku mendengar persetujuan mereka. Ini
jelas bukan pilihan utamaku. Bahkan sesungguhnya aku sendiri belum yakin betul
dengan keputusan ini. Ini keputusan setengah hati.” (N5M, 2009:13)
Latar sosial dalam novel Negeri 5 Menara berupa konflik antar
tokoh di mana keinginan amak dengan Alif saling bertentangan. Amak menginginkan
alif menjadi seperti Buya Hamka yang ahli ilmu agama. Alif terpaksa mengikuti
keinginan amaknya untuk masuk pesantren. Saat itu berbagai gejolak perasaan
dirasakan oleh alif, dia tidak terima harus masuk sekolah agama karena
cita-citanya ialah menjadi seperti BJ. Habibie. ”Amak ingin anak laki-lakiku
menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti
Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu.” (N5M, 2009:8)
Latar
sosial dalam novel Negeri 5 Menara
ini lebih menggambarkan tentang serentetan aturan yang ketat, lingkungan
belajar yang kondusif, dan keikhlasan yang selalu dipertontonkan di setiap
sudut PM. Para murid bukan hanya mendapatkan materi secara kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit dalam
berjuang mewujudkan cita-cita.
”….ingat juga bahwa aturan di
sini punya konsekuensi hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa
mengikuti aturan, mungkin kalian tidak cocok di sini.” (N5M, 2009:51)
”Menuntut ilmu di PM bukan buat
gagah-gagahan dan bukan biar bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan
semata. Karena itulah kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri
ikan, tapi akan mendapat ilmu dan kail. Kami para ustad, ikhlas mendidik kalian
dan kalian ikhlaskan pula niat untuk mau dididik.” (N5M, 2009:50)
Latar
sosial juga terlihat dari cara berfikir para anggota Sahibul Menara yang tidak
pernah meremehkan impian walau setinggi apapun. Mereka tetap optimis dapat
mewujudkan impian mereka untuk menginjak negera impian mereka masing-masing.
Cara berfikir mereka yang menganggap tidak ada impian yang tidak bisa diraih
dengan kerja keras. ”Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu
lepas membumbung tinggi. Tapi lihatlah hari ini. Kun fayakun, maka semula awan
impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang
berbeda. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha
Mendengar.” (N5M, 2009:405)
Novel ini
merupakan karya berlatar tipikal karena memiliki dan menonjolkan sifat khas
latar tertentu. Latar tertentu yang ditonjolkan dalam novel ini yaitu latar
sosial. Latar sosial ini berupa cara berpikir para tokoh seperti pada kutipan
di atas.
Sudut pandang adalah cara, strategi,
teknik yang dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan ceritanya. Sudut
pandang dibedakan menjadi tiga macam. Pertama,
sudut pandang persona ketiga atau ”Dia” maksudnya, narator adalah seorang yang
berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama
atau kata-kata gantinya, seperti ia, dia, mereka, dan kalian. Kedua, sudut pandang persona pertama
atau “Aku” di mana narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita, si
”Aku” dalam tokoh adalah mengisahkan dirinya sendiri. Jadi, pembaca hanya dapat
melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat dan dirasakan
tokoh si ”Aku”. Ketiga, sudut pandang
campuran, yaitu mengisahkan atau menggunakan sudut pandang ”Dia” manatahu dan
”Dia” terbatas atau sudut pandang ”Aku” sebagai tokoh utama dan ”Aku” sebagai
tokoh tambahan. Dalam cerita tampil secara bersamaan, bukan satu-satu. Sudut pandang dalam novel Negeri 5 Menara adalah orang pertama
(Aku) monolog akulirik. Ini terlihat jelas dari si penulis yang menceritakan
kisah dan pengalamannya dengan menggunakan orang pertama (Aku) sampai cerita
ini berakhir. ”Bagiku, tiga tahun di madrasah
tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini
saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di
UI, ITB dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap
Habibie adalah seperti seperti profesi sendiri.” (N5M, 2009:8)
Gaya bahasa menyangkut kemahiran
pengarang mempergunakan bahasa sebagai
medium fiksi. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan yang
hendak dikemukakan. Gaya bahasa dalam
novel Negeri 5 Menara selain
menggunakan bahasa Indonesia, umumnya juga menggunakan bahasa daerah.
Pertama, menggunakan bahasa daerah
Minangkabau. ”…konco palangkin-ku. Teman akrabku.” (N5M, 2009:101). Kedua, menggunakan bahasa daerah
Bandung. ”Kita bisa reuni euy. Raja kan juga di London” (N5M, 2009:4). Ketiga, menggunakan bahasa daerah Medan.
”Bos, kau murid macem mana ni, kok bisa gak tahu.”(N5M, 2009:49)
Novel ini
juga menggunakan majas perbandingan. Ini mendukung gaya bahasanya yang inspiratif.
”Kubah raksasanya yang berundak-undak semakin memutih ditaburi salju, bagai
mengenakan kopiah haji.” (N5M, 2009:1).
Tema adalah sebuah gagasan, ide,
atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra. Tema dapat digolongkan
menjadi tema tradisional, yaitu tema yang menunjukkan pada tema yang hanya
itu-itu saja dan telah lama digunakan dalam berbagai cerita, bersifat wajar dan
bisa diterima logika pembaca, kemudian tema non tradisional, yaitu tema yang
merupakan sesuatu yang tidak lazim atau tidak sesuai dengan harapan pembaca,
bertentangan, dan melawan arus. Novel Negeri
5 Menara bertemakan kesungguhan dan kerja keras untuk mendapatkan impian
dan cita-cita yang menjadi kenyataan. Ini terlihat dari perjuangan tokoh utama
dalam meraih impian, meskipun belajar di pondok bukanlah pilihan utamanya. Akan
tetapi, dia tetap berusaha untuk mewujudkan impiannya menjadi orang hebat dan
bisa ke negara impiannya, Amerika. Novel ini bersifat tradisional karena
temanya bersifat wajar dan bisa diterima logika pembaca, di mana dengan
kesungguhan dan kerja keras, segala impian dan cita-cita memang berkemungkinan
dapat diwujudkan.
Unsur intrinsik
dalam novel Negeri 5 Menara adalah
seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selain unsur intrinsik, unsur
ekstrinsik juga merupakan unsur prosa fiksi. Penjabaran unsur ekstrinsik prosa
fiksi (novel), sebagai berikut.
Nilai agama berkaitan dengan adanya
unsur-unsur keagamaan dalam sebuah cerita. Nilai agama dalam novel Negeri 5 Menara digambarkan dari
tokoh-tokohnya yang beragama Islam dan ceritanya sangat bernuansa Islami dengan
menghadirkan kutipan-kutipan hadist. ”Hadist mengatakan: Innallaha jamiil
wahuwa yuhibbul jamal. Sesungguhnya Tuhan itu indah dan mencintai keindahan.”
(N5M, 2009:34)
Nilai agama
dalam novel ini juga terlihat dari gambaran kehidupan pesantren dalam mendidik
muridnya menjadi umat muslim yang tidak mudah menyerah dalam mencapai impian
dengan menggunakan istilah-istilah bahasa Arab sebagai penyemangat. Istilah bahasa
Arab ini seperti ’Man Jadda Wajada’ yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh
akan sukses. Kemudian ’Man Shabara Zhafira’, siapa yang bersabar akan
beruntung.
Nilai sosial berkaitan dengan adanya nilai-nilai sosial dalam kehidupan atau lingkungan masyarakat
dalam sebuah cerita. Nilai sosial dalam novel Negeri 5 Menara menggambarkan tentang keharusan menjaga
persaudaraan meskipun berbeda latar belakang. Nilai tersebut terlihat dari
kisah persahabatan anggota Sahibul Menara yang berbeda asal, baik saat berada
di PM maupun setelah kelulusan. ”Seperti kata orang bijak, penderitaan
bersamalah yang menjadi semen dari pertemanan yang lekat. Sejak menjadi jasus
keamanan pusat, aku, Raja, Said, Dulmajid, Atang, dan Baso lebih sering
berkumpul dan belajar bersama. Kalau lelah belajar, kami membahas kemungkinan
untuk bebas dari jerat pengawasan keamanan.” (N5M, 2009:92)
Nilai
moral adalah nilai-nilai yang
berkaitan dengan susila, tingkah laku, serta etika dalam kehidupan. Nilai moral
dalam novel Negeri 5 Menara yaitu
mengenai kedisiplinan. Kedisiplinan pada novel ini sangat ditonjolkan karena
pengarang ingin memperlihatkan bahwa kedisiplinan merupakan satu pilar karakter
yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi pribadi yang matang dan sukses.
Inilah yang menyebabkan PM begitu ketat menerapkan kedisiplinan dalam mendidik
para santrinya. ”….ingat juga bahwa aturan di sini punya konsekuensi hukum yang
berlaku tanpa pandang bulu. Kalau tidak bisa mengikuti aturan, mungkin kalian
tidak cocok di sini.” (N5M, 2009:51)
Nilai moral lainnya menyangkut
etika, yaitu kesopanan karena novel ini menceritakan tentang umat muslim yang
memiliki etika yang baik. Ini tergambarkan dari sifat para santri di PM. ”Bapak,
Ibu dan tamu pondok yang berbahagia. Selamat datang di Pondok Madani….Semoga
Anda menikmati kunjungan ini dan kami bisa melayani dengan sebaik-baiknya.”
(N5M, 2009:31)
Nilai politik adalah nilai-nilai politik yang disampaikan pengarang dalam sebuah karya
sastra. Nilai politik yang terdapat dalam novel Negeri 5 Menara tampak dari penanaman pikiran-pikiran tertentu yang
berhubungan dengan pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan yang berbasis
Islam. Pengarang ingin menunjukkan bahwa pesantren adalah sebuah pendidikan
alternatif yang mampu memberikan pengaruh besar untuk sebuah perubahan keadaan
yang lebih baik dengan mencetak individu-individu yang baik secara intelektual
maupun spiritual. ”Menuntut ilmu di PM bukan buat gagah-gagahan dan bukan biar
bisa bahasa asing. Tapi menuntut ilmu karena Tuhan semata. Karena itulah kalian
tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu
dan kail. Kami para ustad, ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlaskan pula
niat untuk mau dididik.” (N5M, 2009:50)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa PM
adalah institusi pendidikan yang membantu membentuk manusia yang baik
intelektual dan spiritualnya, PM mendidik para santrinya untuk menjadi pribadi
yang ikhlas. Dikemukakannya hal-hal ini agar pembaca mengetahui kelebihan-kelebihan
pendidikan di Pondok Madani, sehingga berminat untuk belajar di PM. Pengarang
ingin memperkenalkan Pondok Madani kepada para pembaca beserta dengan kelebihan
yang akan didapatkan bila menuntut ilmu di pesantren (Pondok Madani). Selain
itu, pengarang juga ingin memperlihatkan kepada pembaca bahwa pesantren bukan
hanya sekadar mengajarkan ilmu agama atau mencetak individu untuk menjadi
ustad, tetapi pesantren telah banyak meluluskan orang-orang hebat di negeri ini
dan banyak yang berhasil sampai ke luar negeri. Ini terlihat dari keberhasilan
para Sahibul Menara dalam mewujudkan impian mereka. Kini mereka berhasil berada
di negara impiannya masing-masing.
Nilai
pendidikan berkenaan dengan adanya nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan
dalam sebuah cerita. Nilai pendidikan dalam novel Negeri 5 Menara adalah mengenai pendidikan akhlak yang diajarkan di
Pondok Madani. Pertama, pendidikan
akhlak terhadap Allah SWT, yaitu melaksanakan segala sesuatu semata-mata hanya
karena Allah. ”Anak-anakku. Mulai hari ini, bulatkanlah niat di hati kalian.
Niatkan menuntut ilmu hanya karena Allah, Lillahi Taala.” (N5M, 2009:50). Nilai
pendidikan lainnya ialah pendidikan akhlak terhadap Allah yang mengajarkan
untuk selalu memohon bantuan dan petunjuk kepada Allah SWT. ”Sebelum kita tutup
acara malam ini, mari kita berdoa untuk misi utama hidup kita, yaitu rahmatan
lil alamin,…” (N5M, 2009:52)
Kedua,
pendidikan akhlak terhadap diri sendiri. Terlihat pada sikap tokoh utama yang
dapat menerima keadaan dirinya dengan ikhlas. ”Melihat uang di kantong
terbatas, aku memutuskan untuk membeli lemari bekas saja. Untuk itu aku harus
memilih baik-baik lemari yang masih bisa dipakai.” (N5M, 2009:62)
Nilai pendidikan akhlak terhadap
sesama manusia digambarkan pada sikap Raja yang ikhlas berbagi pengetahuan
kepada Sahibul Menara. ”…..Raja dengan bersemangat. Dia selalu dengan senang
hati berbagi informasi apa saja, melebihi dari apa yang kami tanya….Bagusnya,
dia tidak pelit dengan informasi.” (N5M, 2009:61)
Ketiga,
nilai pendidikan akhlak kepada orangtua, seperti mematuhi perintah orangtua.
Ini terlihat dari tokoh utama yang mematuhi keinginan amaknya masuk sekolah
agama meskipun dia menginginkan masuk SMA. ”Amak, kalau memang harus
sekolah agama, ambo ingin masuk
pondok saja di Jawa. Tidak mau di Bukittinggi atau Padang,” kataku di mulut
pintu. Suara cempreng puberitasku memecah keheningan Minggu pagi itu. (N5M, 2009:12)
Nilai pendidikan lainnya yang dapat
dipetik dalam novel ini adalah keoptimisan dalam mewujudkan mimpi melalui
ikhtiar, yang terlihat dari terwujudnya impian semua anggota Sahibul Menara
untuk berada di negara impian mereka masing-masing. ”Dulu kami melukis langit
dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Tapi lihatlah hari ini.
Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah
berada di lima negara yang berbeda. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi
apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (N5M, 2009:405)
Nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi dalam cerita. Nilai
ekonomi dalam novel Negeri 5 Menara
terlihat dari perekonomian anggota Sahibul Menara, yaitu Baso yang telah banyak
menunggak uang makan di PM. Di PM para santri tidak pernah dikeluarkan hanya
karena tidak membayar uang sekolah. PM banyak memberikan beasiswa kepada para
santri yang kurang baik perekonomiannya, hanya saja hal tersebut diberikan
tanpa pemberitahuan resmi kepada santri yang bersangkutan.
”Sudah dua bulan aku tidak bayar uang makan.”
(N5M, 2009:359)
”PM selama ini tidak pernah
mengeluarkan murid hanya karena tidak bayar uang sekolah. Memang, walau PM
tidak menggembar-gemborkan ada beasiswa, sesungguhnya sekolah kami banyak
memberikan beasiswa tanpa kami sadari.” (N5M, 2009:359)
Nilai
budaya adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat yang
diungkapkan oleh pengarang dalam karyanya. Nilai budaya dalam novel Negeri 5 Menara yang paling ditonjolkan
adalah budaya Minangkabau dari sosok Alif. Alif berasal dari Sumatera Barat,
tepatnya di Desa Bayur, Danau Maninjau. Selain itu, juga diceritakan mengenai
makanan khas orang Minang, yaitu rendang. Kata-kata dalam bahasa Minang juga
banyak dihadirkan dalam novel ini.
”Buyuang, sejak waang
masih dikandungan, amak selalu punya cita-cita, mata amak kembali menatapku.”
(N5M, 2009:8)
”Ini rendang spesial
karena dimasak amak yang lahir di Kapau, sebuah desa kecil di Bukittinggi.
Kapau terkenal dengan masakan lezat yang berlinang-linang kuah santan.” (N5M, 2009:14)
Amanat
adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui
karyanya. Ada beberapa pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Negeri 5 Menara. Pertama, berjuanglah dan bekerjakeraslah untuk mewujudkan cita-cita
dan impian. Kedua, patuhlah kepada ibu karena surga berada di bawah telapak
kaki ibu, raihlah ridho Allah dan orangtua karena itulah yang akan mengantarkan
kita kepada kesuksesan dunia dan akhirat.
Ketiga, inti hidup adalah kombinasi niat ikhlas, kerja keras, doa, dan
tawakal. Semua pesan ini digambarkan dari keputusan alif untuk mengikuti
keinginan amaknya, kerja kerasnya untuk tetap belajar di pondok, dan
keikhlasannya untuk dididik oleh para ustad di PM, sampai akhirnya ia berhasil
menginjakkan kaki di negara impiannya, Amerika. Dengan kesungguhan dan ridho
Allah serta orangtua telah mengantarkan Alif kepada kesuksesan. Kerja keras
juga diperlihatkan dari anggota Sahibul Menara lainnya, di mana mereka juga
berhasil meraih impiannya masing-masing. ”Dulu kami melukis langit dan
membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Tapi lihatlah hari ini. Kun
fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah
berada di lima negara yang berbeda. Jangan pernah remehkan impian, walau
setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.” (N5M, 2009:405)
Sinopsis novel Negeri 5 Menara sebagai berikut. Man Jadda Wajada (Siapa yang
bersungguh-sungguh, akan berhasil) begitulah mantra luar biasa yang telah
membawa Alif sampai pada puncak kesuksesannya. Berangkat dari Maninjau menuju
ke Pondok Madani (Gontor) dengan setengah hati karena dilemanya dia tidak bisa
melanjutkan ke SMA, tidak seperti teman dekatnya, Randai. Akan tetapi,
keputusan setengah hatinya itu adalah pilihan tepat dari kehendak ibunya.
Manajemen pendidikan dan pembelajaran di PM telah banyak mendidiknya menjadi
sosok yang luar biasa bersama lima teman dekatnya yang dikenal dengan Sahibul
Menara, yaitu Raja, Baso, Dulmajid, Atang, dan Said. Persahabatan yang terjalin
erat, saling membantu satu sama lain baik dalam urusan pelajaran maupun urusan
lainnya. Satu sama lain memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Itulah
yang membuat mereka semakin akrab, kompak, dan saling mengisi satu sama lain.
Aturan yang ketat, disiplin tinggi, tegas, dan hukum ditegakkan sesuai dengan
aturan yang berlaku telah membuat mereka semakin kuat dan menjadi sosok yang pantang
menyerah menghadapi hidup. Keikhlasan, ketulusan, dan motivasi yang tinggi dari
para ustad dan kiai di PM dalam mendidik mereka berbuah hasil yang lebat.
Sampai pada akhirnya semangat, kesungguhan yang kuat, dan disertai doa, telah
mengantarkan mereka mencapai impiannya masing-masing.
Novel Negeri 5 Menara memiliki banyak kelebihan. Novel ini sangat luar
biasa, penuh motivasi dan inspirasi, mengisahkan tentang perjuangan yang tinggi
dalam meraih cita-cita, persahabatan yang saling memberi dan menasihati, serta
menggambarkan sistem pendidikan dan pembelajaran yang diterapkan di Pondok
Madani yang sangat menjunjung tinggi kedisiplinan, kejujuran dan tanggung
jawab. Mantra ’Man Jadda Wajada’ dan ’Man Shabara Zhafira’ mampu memberikan
motivasi pada para pembaca untuk meraih cita-cita dan impiannya. Novel ini
sangat menarik dan inspiratif. Gaya bahasa yang
digunakan dalam novel ini juga sangat menarik. Ringan, deskriptif dan mengalir,
serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah. Di
dalam novel ini terdapat bahasa daerah Maninjau, Medan, Sunda, dan Arab lengkap
dengan catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Fisik
dari novel ini juga menarik. Kover dengan desain gambar lima menara serta warna
kover yang menyerupai warna senja, ilustrasi lingkungan pondok berupa desain
gambar, dan pembatas buku yang tersedia turut menambah daya tarik dari novel
ini.
Kekurangan dari novel Negeri 5 Menara terlihat dari klimaks
cerita yang kurang menonjol, sehingga pembaca merasa dinamika cerita sedikit
datar. Setelah selesai membaca, pembaca akan merasa cerita belum selesai
setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis mendasarkan
ceritanya pada kisah nyata dan tidak ingin melebih-lebihkannya. Mungkin akan
lebih baik jika penulis membuat konflik-konflik yang lebih tegang atau
menuliskan akhir cerita yang lebih memukau pembaca. Penulis sangat
mungkin menyisipkan dialog hati agar menyentuh kesadaran para pembaca. Jika ini
dilakukan, novel ini akan lebih menginspirasi banyak pihak di tengah
carut-marutnya pendidikan moral di negeri kita.