Si Manis, begitulah orang-orang memanggilku. Sebenarnya namaku Sinta, tapi mereka memanggilku si Manis karena parasku yang begitu manis. Aku lahir dari keluarga terpandang. Ayahku bernama Ali dan ibuku bernama Yana. Kedua orangtuaku berasal dari keluarga yang kaya raya dan berpengaruh di kampungku. Kami tinggal di sebuah kampung Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam. Sebuah kampung yang indah dan jauh dari hingar bingar perkotaan. Aku anak semata wayang, sedari kecil orangtuaku selalu menuruti keinginanku. Seiringnya waktu, hal itu membuatku tumbuh menjadi anak yang egois dan sombong.
Aku
sekolah di SMP 12 Kabupaten Agam. Aku sangat terkenal di sekolah karena
kecantikan dan kekayaanku.
”Hai, perkenalkan namaku Mia,” sapa
seorang siswi baru di sekolahku.
”Hai,” jawabku datar.
”Aku siswi baru di sini. Namamu
Sinta kan?” Tanyanya dengan sangat sopan.
Aku sama sekali tidak heran mengapa
siswi baru ini bisa tahu namaku.
”Ya, ada apa?”
”Aku sering mendengar namamu,
tampaknya kamu sangat terkenal di sekolah ini. Bolehkah aku berteman denganmu?”
Pintanya dengan penuh harap.
”Kalau kamu kaya aku jadikan teman,
tapi kalau tidak silahkan menjauh!” Itulah jawabanku yang membuat siswi baru
itu tertunduk lemas.
¤¤¤
Hari-hari yang aku jalani tidak
terlepas dari keegoisan dan kesombongan. Orang-orang kampung sebenarnya tidak
ada yang menyukaiku, tapi karena aku anak orang terpandang, jadi tidak ada
diantara mereka yang berani memprotes sikapku. Sampai pada saat dimana
orangtuaku tidak mampu membendung air mata ketika mengetahui keadaan anak
semata wayangnya. Leukimia, itulah penyakit yang tengah aku derita saat ini.
Penyakit ini membuat tubuhku semakin
kurus, pucat tak berdarah. Semakin hari kondisiku semakin memburuk. Muntah
darah, pingsan, bahkan seringkali aku mengalami lumpuh sesaat. Orangtuaku
berusaha mengobatiku dengan segala usaha, namun tidak juga menemukan titik
terang.
Tubuhku
memang berpenyakitan, namun aku berhasil menyelesaikan pendidikanku di SMA
dengan segala kekuatanku. Sudah tiga tahun penyakit ini menyerang tubuhku, aku
sungguh menderita. Saat terpuruk seperti ini, aku teringat dengan segala sikap
dan perlakuanku kepada orang-orang di kampung ini. Sungguh tidak manusiawi
sikapku pada mereka, mungkin penyakit ini merupakan balasan Tuhan atas
keegoisan dan kesombonganku. Di tepi tabek
ini aku merenung. Dalam perenunganku, aku mendengar perkataan orang-orang yang
membicarakanku. Mereka berkata, ”Jika aku mati, aku pasti masuk neraka.” Aku
mengulang kalimat itu berkali-kali dalam hatiku. Sungguh menyedihkan! Sekarang
aku tahu bagaimana rasanya dihakimi.
Semenjak
hari itu, aku selalu diselimuti rasa ketakutan. Aku takut apabila aku mati, aku
benar-benar masuk neraka. Tetesan air mata tidak sanggup aku bendung. Aku
menangis sekencang dan sekuat kemampuanku. ”Aaaaah!” Jeritku tertahan. Aku
merasa tidak betah tetap tinggal di kampung, akhirnya kuputuskan untuk
melanjutkan kuliah ke kota.
Malam
harinya dihadapan kedua orangtuaku, kusampaikan keinginanku untuk kuliah ke
kota. Aku merasa di sana aku akan menemukan sesuatu yang akan mengantarkanku ke
surga. Entah apa?
”Ayah,
ibu, aku ingin kuliah ke kota,” ucapku pada mereka.
Mendengar
ucapanku, ayah dan ibu sekejap terdiam dan saling pandang.
”Bagaimana
mungkin ayah dan ibu membiarkanmu kuliah ke kota? Lihat kondisimu saat ini!”
Ujar ayah padaku.
”Percayalah
ayah! Meskipun harus merangkak, aku akan tetap kuliah ke kota,” jawabku penuh
keyakinan.
Aku
terus berusaha meyakinkan kedua orangtuaku, sampai akhirnya keinginanku
direstui. Aku akan kuliah ke kota, Universitas Negeri Padang menjadi tujuanku.
Esok harinya, sebelum pergi ku pinta maaf dan ku kecup telapak tangan
orangtuaku.
¤¤¤
Terik
sang surya begitu sengit bak pedang yang menikam jantungku. Pusing, itulah yang
aku rasakan. Aku ingin pergi dan melepaskan diriku dari urusan administrasi
pendaftaran mahasiswa baru.
”Gila,
banyak sekali orang di sini? Kenapa orang-orang ini begitu betah antrean dan
kepanasan, sedangkan aku sudah sangat bosan dan tidak nyaman dengan keadaan
ini. Belum lagi dalam kondisi kesehatanku saat ini.”
Aku
duduk di suatu tempat yang memberikanku kesejukan. Alhamdulillah kenyamanan aku
dapatkan sambil meneguk minuman. Angin sepoi-sepoi membuatku mengantuk dan
melemahkan saraf otot-ototku. Tiba-tiba seseorang menyapa dan mengajakku
bicara.
”Assalamualaikum.
Perkenalkan namaku Alfakir,” sapa lelaki itu.
”Namaku
Sinta,” jawabku padanya.
Kami
berbicara untuk beberapa saat. Banyak sekali yang kami bicarakan. Laki-laki ini
begitu ramah dan juga tampan. Aku malu memiliki pikiran seperti ini, tapi
dalamnya hati siapa yang tahu?
¤¤¤
”Halo,
apa kamu masih ingat aku? Aku Alfakir yang siang kemarin bicara dengan kamu.
Apa kamu masih ingat aku?”
”Ya,
aku masih ingat. Apa kabar?” Kataku balik bertanya.
Ya
Tuhan, inikah orang yang akan mengantarkanku ke surga-Mu? Dia begitu baik dan
sholeh. Hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu kebaikan hatinya. Terkadang aku
seperti paranormal yang bisa menebak orang dari wajahnya. Ahh….ada-ada saja
pikiranku.
Sudah
beberapa bulan aku menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa. Padahal aku
lelah dan tidak bisa berpikir terlalu keras. Setiap kali berpikir keras, darah
segar menetes dari hidungku dan aku kehilangan kesadaran. Lagi-lagi kutemukan
diriku berada di rumah sakit. Entah siapa yang membawaku ke sini? Oh, Alfakir!
Ya dialah orangnya. Aku sempat melihat wajahnya sesaat sebelum benar-benar
kehilangan kesadaran. Semenjak kejadian itu, aku semakin dekat dengan Alfakir
dan ia begitu mengkhawatirkan keadaanku. Kami merasa begitu dekat dan akhirnya
kami memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman. Bersama
Alfakir aku melewati jalan yang penuh dengan gelak tawa, air mata, dan kerasnya
hati apabila ada ketidakcocokkan di diri kami. Selama itu pula aku merasa
kekosongan rohaniku sedikit terisi. Alangkah besar pengaruh Alfakir di diriku.
Sholatku semakin terjaga untuk aku penuhi. Kata-kataku pun semakin keluar
dengan baik, walaupun terkadang sifat lamaku yang pembangkang kadang-kadang
keluar.
Alfakir
selalu sabar menghadapiku dan mengajarkanku untuk berubah lebih baik. Sekarang
aku sudah memakai hijab sebagai pelindung diriku. Impianku tidak muluk-muluk.
Aku hanya ingin menjadi wanita sholeha pada akhir hidupku. Inilah aku yang
bernama Sinta. Inilah kisah hidupku yang setiap waktu berusaha berubah menjadi
baik sampai ajal menjemputku.
¤¤¤
Tidak ada komentar:
Posting Komentar