Rabu, 02 Januari 2013

Kisah Hidup Sinta


          Si Manis, begitulah orang-orang memanggilku. Sebenarnya namaku Sinta, tapi mereka memanggilku si Manis karena parasku yang begitu manis. Aku lahir dari keluarga terpandang. Ayahku bernama Ali dan ibuku bernama Yana. Kedua orangtuaku berasal dari keluarga yang kaya raya dan berpengaruh di kampungku. Kami tinggal di sebuah kampung Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam. Sebuah kampung yang indah dan jauh dari hingar bingar perkotaan. Aku anak semata wayang, sedari kecil orangtuaku selalu menuruti  keinginanku. Seiringnya waktu, hal itu membuatku tumbuh menjadi anak yang egois dan sombong.
Aku sekolah di SMP 12 Kabupaten Agam. Aku sangat terkenal di sekolah karena kecantikan dan kekayaanku.
            ”Hai, perkenalkan namaku Mia,” sapa seorang siswi baru di sekolahku.
            ”Hai,” jawabku datar.
            ”Aku siswi baru di sini. Namamu Sinta kan?” Tanyanya dengan sangat sopan.
            Aku sama sekali tidak heran mengapa siswi baru ini bisa tahu namaku.
            ”Ya, ada apa?”
            ”Aku sering mendengar namamu, tampaknya kamu sangat terkenal di sekolah ini. Bolehkah aku berteman denganmu?” Pintanya dengan penuh harap.
            ”Kalau kamu kaya aku jadikan teman, tapi kalau tidak silahkan menjauh!” Itulah jawabanku yang membuat siswi baru itu tertunduk lemas.

¤¤¤

            Hari-hari yang aku jalani tidak terlepas dari keegoisan dan kesombongan. Orang-orang kampung sebenarnya tidak ada yang menyukaiku, tapi karena aku anak orang terpandang, jadi tidak ada diantara mereka yang berani memprotes sikapku. Sampai pada saat dimana orangtuaku tidak mampu membendung air mata ketika mengetahui keadaan anak semata wayangnya. Leukimia, itulah penyakit yang tengah aku derita saat ini.
            Penyakit ini membuat tubuhku semakin kurus, pucat tak berdarah. Semakin hari kondisiku semakin memburuk. Muntah darah, pingsan, bahkan seringkali aku mengalami lumpuh sesaat. Orangtuaku berusaha mengobatiku dengan segala usaha, namun tidak juga menemukan titik terang.  
Tubuhku memang berpenyakitan, namun aku berhasil menyelesaikan pendidikanku di SMA dengan segala kekuatanku. Sudah tiga tahun penyakit ini menyerang tubuhku, aku sungguh menderita. Saat terpuruk seperti ini, aku teringat dengan segala sikap dan perlakuanku kepada orang-orang di kampung ini. Sungguh tidak manusiawi sikapku pada mereka, mungkin penyakit ini merupakan balasan Tuhan atas keegoisan dan kesombonganku. Di tepi tabek ini aku merenung. Dalam perenunganku, aku mendengar perkataan orang-orang yang membicarakanku. Mereka berkata, ”Jika aku mati, aku pasti masuk neraka.” Aku mengulang kalimat itu berkali-kali dalam hatiku. Sungguh menyedihkan! Sekarang aku tahu bagaimana rasanya dihakimi.
Semenjak hari itu, aku selalu diselimuti rasa ketakutan. Aku takut apabila aku mati, aku benar-benar masuk neraka. Tetesan air mata tidak sanggup aku bendung. Aku menangis sekencang dan sekuat kemampuanku. ”Aaaaah!” Jeritku tertahan. Aku merasa tidak betah tetap tinggal di kampung, akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan kuliah ke kota.
Malam harinya dihadapan kedua orangtuaku, kusampaikan keinginanku untuk kuliah ke kota. Aku merasa di sana aku akan menemukan sesuatu yang akan mengantarkanku ke surga. Entah apa?
”Ayah, ibu, aku ingin kuliah ke kota,” ucapku pada mereka.
Mendengar ucapanku, ayah dan ibu sekejap terdiam dan saling pandang.
”Bagaimana mungkin ayah dan ibu membiarkanmu kuliah ke kota? Lihat kondisimu saat ini!” Ujar ayah padaku.
”Percayalah ayah! Meskipun harus merangkak, aku akan tetap kuliah ke kota,” jawabku penuh keyakinan.
Aku terus berusaha meyakinkan kedua orangtuaku, sampai akhirnya keinginanku direstui. Aku akan kuliah ke kota, Universitas Negeri Padang menjadi tujuanku. Esok harinya, sebelum pergi ku pinta maaf dan ku kecup telapak tangan orangtuaku.

¤¤¤

Terik sang surya begitu sengit bak pedang yang menikam jantungku. Pusing, itulah yang aku rasakan. Aku ingin pergi dan melepaskan diriku dari urusan administrasi pendaftaran mahasiswa baru.
”Gila, banyak sekali orang di sini? Kenapa orang-orang ini begitu betah antrean dan kepanasan, sedangkan aku sudah sangat bosan dan tidak nyaman dengan keadaan ini. Belum lagi dalam kondisi kesehatanku saat ini.”
Aku duduk di suatu tempat yang memberikanku kesejukan. Alhamdulillah kenyamanan aku dapatkan sambil meneguk minuman. Angin sepoi-sepoi membuatku mengantuk dan melemahkan saraf otot-ototku. Tiba-tiba seseorang menyapa dan mengajakku bicara.
”Assalamualaikum. Perkenalkan namaku Alfakir,” sapa lelaki itu.
”Namaku Sinta,” jawabku padanya.
Kami berbicara untuk beberapa saat. Banyak sekali yang kami bicarakan. Laki-laki ini begitu ramah dan juga tampan. Aku malu memiliki pikiran seperti ini, tapi dalamnya hati siapa yang tahu?

¤¤¤

”Halo, apa kamu masih ingat aku? Aku Alfakir yang siang kemarin bicara dengan kamu. Apa kamu masih ingat aku?”
”Ya, aku masih ingat. Apa kabar?” Kataku balik bertanya.
Ya Tuhan, inikah orang yang akan mengantarkanku ke surga-Mu? Dia begitu baik dan sholeh. Hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu kebaikan hatinya. Terkadang aku seperti paranormal yang bisa menebak orang dari wajahnya. Ahh….ada-ada saja pikiranku.
Sudah beberapa bulan aku menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa. Padahal aku lelah dan tidak bisa berpikir terlalu keras. Setiap kali berpikir keras, darah segar menetes dari hidungku dan aku kehilangan kesadaran. Lagi-lagi kutemukan diriku berada di rumah sakit. Entah siapa yang membawaku ke sini? Oh, Alfakir! Ya dialah orangnya. Aku sempat melihat wajahnya sesaat sebelum benar-benar kehilangan kesadaran. Semenjak kejadian itu, aku semakin dekat dengan Alfakir dan ia begitu mengkhawatirkan keadaanku. Kami merasa begitu dekat dan akhirnya kami memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman. Bersama Alfakir aku melewati jalan yang penuh dengan gelak tawa, air mata, dan kerasnya hati apabila ada ketidakcocokkan di diri kami. Selama itu pula aku merasa kekosongan rohaniku sedikit terisi. Alangkah besar pengaruh Alfakir di diriku. Sholatku semakin terjaga untuk aku penuhi. Kata-kataku pun semakin keluar dengan baik, walaupun terkadang sifat lamaku yang pembangkang kadang-kadang keluar.
Alfakir selalu sabar menghadapiku dan mengajarkanku untuk berubah lebih baik. Sekarang aku sudah memakai hijab sebagai pelindung diriku. Impianku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin menjadi wanita sholeha pada akhir hidupku. Inilah aku yang bernama Sinta. Inilah kisah hidupku yang setiap waktu berusaha berubah menjadi baik sampai ajal menjemputku.
¤¤¤

Tidak ada komentar:

Posting Komentar