Apa Itu Masalah dan Bagaimana Cara
Mengatasinya?
Masalah (problem) bisa didefinisikan
sebagai perasaan akan adanya kesulitan yang harus dilalui atau rintangan yang
harus dilewati untuk mewujudkan tujuan. Masalah bisa juga dikatakan bahwa ia
merupakan benturan dengan realitas yang tidak kita inginkan, seolah-olah kita
menginginkan sesuatu, kemudian mendapatkan sebaliknya. Agar kita bisa
menghadapi berbagai masalah dan mengatasinya, kita harus menempuh sebuah
pendekatan tertentu yang membuat kita bisa merasakan adanya masalah,
mengenalinya, dan mengidentifikasi karakternya, kemudian memikirkan berbagai
solusi pemecahannya, lalu menerapkan solusi pemecahannya, lalu menerapkan
solusi yang paling ideal dan memastikan hal tersebut, kemudian merefleksikan
perkembangan dan hasil yang diperoleh.
Hal ini tentu saja menuntut
pencurahan seluruh daya kemampuan untuk melakukan kajian dan pemikiran serius
terhadap berbagai fase perkembangan dan sejumlah topik permasalahan. Terkadang
ia berhasil dalam waktu yang relatif cepat, namun ada juga yang memakan waktu
yang lama. Yang terpenting di sini adalah melatih dan mempersiapkan diri untuk
menghadapi hal tersebut dan membangun kemampuan berpikir yang diperlukan untuk
hal ini.
Bagaimanakah
pendekatan yang ditempuh oleh Ummul mukminin ‘Aisyah dalam menghadapi masalah
ini?
Masalah yang dialami Ummul mukminin
‘Aisyah dikenal dengan sebutan “haaditsah al-ifk” (skandal isu kebohongan
perselingkuhan ‘Aisyah). Secara singkat, kasus ini merupakan penyebaran isu
oleh kalangan orang-orang munafik yang berisi tuduhan zina kepada Ummul
mukminin ‘Aisyah, ketika ia ketinggalan dari rombongan pasukan dalam sebuah
peperangan, kemudian diantar oleh seorang sahabat yang bernama Shafwan ibnu
Al-Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani di atas unta Shafwan. Setelah itu,
menyebarlah berbagai isu miring mengenai dirinya yang bergerak cepat seperti
api membakar rumput kering.
Masalah ini
memiliki dua sisi kejadian:
1. ketika Ummul
mukminin mendapati dirinya sendirian dan telah ditinggal oleh rombongan
pasukan; dan
2. ketika isu
tentang dirinya menyebar luas, padahal ia sama sekali tidak pernah
memikirkannya.
Apa
yang dilakukan Ummul mukminin ‘Aisyah menghadapi kedua sisi masalah ini?
1. Adanya
sense of crisis akan suatu masalah dan keterlibatan di dalamnya.
Penting diketahui bahwa suatu
masalah tidak akan berarti apa-apa selama seseorang atau orang yang memiliki
kaitan dengan masalah itu tidak merasakannya sebagai masalah. Dalam kasus ini,
Sayyidah ‘Aisyah sudah merasakan dirinya berada dalam masalah ketika ia kembali (setelah buang
hajat) dan tidak mendapati rombongan pasukan di tempatnya. Ini baru dari sisi
pertama masalah.
Sementara dari sisi kedua yakni
tuduhan perzinaan atas dirinya. Ia menyadari adanya masalah yang melilit
dirinya ketika ia diberi tahu oleh Ummu Misthah mengenai isu miring yang
berkembang tentang dirinya. Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah memikirkan
hal tersebut, sehingga ia pun terkejut dengan apa yang dikatakan Ummu Misthah,
bahkan pada mulanya ia sempat membela Abu Misthah sebagai ahli Badar yang tidak
layak dicaci-maki.
2. Tetap menjaga konsistensi diri dan tidak
droop ataupun panik.
Dalam menghadapi masalah yang sangat
berat ini, Ibunda kita, ‘Aisyah mampu menguasai diri dan tetap tenang, meskipun
situasinya saat itu sangat berat karena ditinggal sendirian oleh rombongan
pasukan yang sudah berangkat (tanpa menyadari ketinggalannya). Ia juga mampu
menjaga keseimbangan jiwanya ketika mendengar isu miring tentang dirinya dan
menyerap efek kejutan yang mengguncangnya, meskipun ia sebenarnya terkejut dan
kaget dengan yang diisukan tentang dirinya.
Kestabilan dan ketegaran jiwa (dalam
menghadapi krisis) terwujud dengan memohon pertolongan kepada Allah lewat do’a,
shalat, dzikir, berbaik sangka kepada Allah dan kaum muslimin yang terkait
dengan masalahnya, dan tetap optimis. Aspek keimanan secara umum juga memiliki
pengaruh yang signifikan dalam menjaga kondisi tersebut dalam seluruh fase
penyelesaian masalah; dan inilah yang dipegang teguh oleh ibunda kita ‘Aisyah.
3. Memikirkan berbagai solusi permasalahan
yang memungkinkan.
Pada bagian masalah yang pertama,
setelah menyadari dirinya berada dalam masalah dan mampu mengidentifikasi
masalah yang menghadangnya, maka terlintaslah dalam benaknya ibunda kita
hal-hal sebagai berikut:
a. Menyusul
rombongan pasukan. Namun ia terbentur pada kendala antara lain: tidak adanya
kendaraan, waktu beranjak malam, dan ia tidak bisa berjalan sendirian.
b. Tetap
bertahan di tempat semula sambil bersembunyi.
c. Pergi ke
tempat lain.
d. Tetap di
tempat yang sama sambil menunggu kembali rombongan pasukan atau beberapa orang
diantara mereka, karena jika mereka merasa kehilangan dirinya, tentu mereka
akan kembali ke tempat tersebut untuk mencari dirinya.
e. Mencari
seseorang yang juga ketinggalan rombongan pasukan sepertinya atau seseorang
yang mengejar rombongan pasukan.
Adapun pada bagian masalah yang
kedua, yaitu setelah isu miring tentang dirinya menyebar, Ibunda kita, ‘Aisyah
pun memikirkan berbagai kemungkinan solusi sebagai berikut:
*memberikan
pembelaan diri
*menyerahkan
urusan kepada Rasulullah sambil tetap tinggal di rumahnya, sambil memperhatikan
keterpengaruhan Rasulullah dengan isu yang telah menyebarluas tersebut;
*kembali kepada
keluarganya sambil bersabar dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah.
4. Menerapkan solusi yang tepat di antara
solusi-solusi alternatif yang tersedia.
Pada bagian pertama, Sayyidah
‘Aisyah memutuskan untuk tetap bertahan di tempat bekas perkemahan pasukan
sebelumnya dengan harapan mereka atau beberapa orang diantara mereka akan
kembali. Dalam kondisi tersebut, muncullah Shafwan. Tampaknya ‘Aisyah menyangka
bahwa Shafwan sengaja dikirim oleh rombongan pasukan untuk menjemputnya. Ia pun
langsung naik untanya tanpa berkata apa-apa kepadanya. Karena itu, tidak
terlintas di benaknya sama sekali jika kemudian muncul gosip miring tentang
dirinya karena ia merasa Shafwan dikirim oleh rombongan pasukan untuk
menjemputnya.
Adapun terkait dengan gosip dan
tuduhan zina yang dialamatkan kepadanya (sebagai bagian kedua masalah), ‘Aisyah
memutuskan untuk memohon kepada Rasulullah agar diizinkan pulang ke rumah orang
tuanya. Dan ia benar-benar melakukannya karena menurutnya masalah ini perlu
diselesaikan segera selama Rasulullah belum mendapatkan wahyu determinatif
tentang masalah tersebut. Selain itu, kasus-kasus seperti ini juga membutuhkan
rentang waktu agar masalahnya mereda dan tenang.
Pilihannya untuk pergi ke rumah
orang tuanya dengan demikian mengandung banyak kebijakan (hikmah) dan
kecerdasan (hinkah). Hal ini diperkuat lagi dengan persetujuan Rasulullah atas
permohonan tersebut secara cepat, sehingga semakin jelas bagi Ummul mukminin
‘Aisyah bahwa keputusan yang dipikirkan dan diambilnya sudah tepat. Ia pun
keluar dari masalah dengan kondisi yang lebih kuat daripada sebelumnya, sebab
Allah menyatakannya bersih dari segala tuduhan dan isu yang berkembang, langsung
dari langit ketujuh. Sederet ayat Al-Qur’an yang dibaca (hingga hari Kiamat)
pun turun mengenai dirinya, dan hal itu memberikan sejumlah implikasi hukum dan
penanganan masalah. Semua ini ternyata berbuah banyak kebaikan.
Kasus ‘Aisyah menjadi acuan dan solusi
detinitif yang bisa diikuti jika terjadi kasus atau permasalahan seperti ini,
sebab sebelumnya belum pernah ada kasus demikian. Kasus ini juga menjadi
teladan baik bagi setiap pemudi muslimah agar tegar menghadapi segala
permasalahan, sabar, berhati-hati (tidak tergesa-gesa), dan menghadapi segala
situasi dengan penuh ketenangan dan tekad diri sampai masalah yang dihadapinya
benar-benar terselesaikan dengan kehendak Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar