Pagi itu pukul 06.00 WIB, terdengar deruman mesin motor dari salah satu
rumah penduduk di kawasan Gunung Pangilun, Padang. Sepeda motor ini milik
seorang pria berumur 63 tahun. Pria ini bernama Sutan. Pak Sutan yang bertubuh
gemuk ini memang selalu mengawali aktivitasnya di pagi hari, namun kali ini ada
yang berbeda. Hari ini Pak Sutan berangkat bekerja lebih pagi dari biasanya dan
ia tampak begitu tergesa-gesa. Pak Sutan juga tampak tidak sehat, berkali-kali
ia terbatuk dan bersin-bersin. Pak Sutan mengendarai motornya dengan hati-hati,
melaju meninggalkan halaman rumah menuju pasar raya, Padang.
Pak Sutan berprofesi sebagai
penjahit sejak tahun 1957. Saat ini, ia memiliki tiga buah kedai di pasar raya,
tepatnya di belakang Padang teater. Perjalanan Pak Sutan dalam merintis
usahanya tidaklah mudah. Awalnya, sebelum memiliki kedai sendiri, Pak Sutan
memulai profesinya dengan bekerja pada orang lain. Waktu itu, Pak Sutan mengaku
bahwa gajinya per hari hanya cukup untuk membeli segentang beras dan beberapa
potong lauk. “Sabalun punyo kadai surang,
apak karajo samo induak samang. Gaji saharinyo hanyo cukuik untuak bali
sagantang bareh jo bara potong lauak.” Ungkapnya.
Pak Sutan bersama istrinya yang
bernama Yusni (54 tahun), memiliki tiga orang anak. Ketiga anak mereka bernama
Rio, Nelli, dan Rina. Istri dan ketiga anaknya inilah yang membuat ia selalu
gigih bekerja. Pak Sutan bekerja siang dan malam, meskipun hasil yang diperoleh
tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Dalam seharinya, istri dan anak-anaknya
hanya bisa makan apabila ia sudah pulang bekerja. Pak Sutan sepulang kerja
selalu membawa segentang beras dan beberapa potong lauk. Saat itulah dapur
keluarga ini mulai berasap dan keluarga ini bisa mengisi perut.
Miris sekali kehidupan Pak Sutan
saat itu. Seringkali ia menangis melihat ketiga anaknya hanya bisa makan sekali
sehari saat ia sudah pulang bekerja. “Kalau
apak jo ibuk indak baa makan sakali sahari, tapi ibo ati mancaliak anak-anak ko
harus takah itu lo. Anak apak wakatu tu masih ketek-ketek, ndak cukuik gizinyo
wakatu tu. Kalaupun ado siso nasi untuak bisuak, anak apak hanyo bisa makan
nasi jo garam minyak.” Ujar Pak Sutan dengan mata berkaca-kaca.
Pak Sutan dan keluarga saat itu
tinggal di rumah kontrakan. Rumah kontrakan yang mereka tempati tidaklah besar
dan masih satu bangunan dengan rumah pemilik kontrakan. Seringkali keluarga ini
berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain karena keterbatasan biaya. Akan
tetapi, hal ini tidak membuat Pak Sutan menyerah. Ia selalu gigih bekerja demi
keluarganya. Istri dan anak-anaknya pun tidak pernah mengeluh dengan keadaan
yang mereka jalani. “Bagi ibuk jo
anak-anak, apak adalah sosok yang batangguang jawab samo keluarga. Apak indak
mudah manyarah, apo se namuah dikarajoan dek apak. Iko yang mambuek kami indak
pernah mangaluah. Kami yakin iduik bisuak ka sanang.” Ujar istri Pak sutan.
Anak-anak Pak Sutan saat itu baru
duduk di bangku sekolah dasar. Ketiga anaknya ini tidak pernah mengeluh dengan
keadaan orang tua mereka. Rio, Nelli, dan Rina selalu bersyukur bagaimanapun
keadaan mereka. Mereka bahkan tidak pernah malu dan tetap aktif bergaul dengan
teman-temannya. Mereka juga termasuk murid yang pintar di sekolahnya. Setiap
pulang sekolah, ketiga anak ini selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah
tetangga untuk menonton televisi. “Anak-anak
dulu acok manumpang nonton tv. Gaji apak kan cukuiknyo untuak makan, jadi kami
indak ado pitih untuak bali tv.” Ujar istri Pak Sutan.
Seiringnya waktu kehidupan Pak Sutan
dan keluarga semakin membaik. Pada tahun 1986, Pak Sutan sudah mampu mengontrak
sebuah kedai dan memulai usaha sendiri. Kedai yang dikontraknya, ia lengkapi
dengan sebuah meja untuk menggunting dan sebuah mesin jahit. “Alhamdulillah iduik mulai elok. Apak alah
bisa mangontrak kadai surang. Tapi wakatu tu, apak baru punyo ciek meja
guntiang jo ciek masin jaik.” Ujarnya. Pak Sutan saat itu memang baru
mempunyai satu meja dan mesin jahit. Akan tetapi, ia tetap berusaha mewujudkan
harapannya untuk menambah mesin jahit miliknya.
Pak Sutan sekarang sudah tidak
bekerja sendiri. Ia sudah mempunyai beberapa anak buah. Mesin jahit miliknya
juga sudah bertambah bahkan Pak Sutan sudah punya banyak sekali pelanggan. Pak
Sutan melayani para pelanggannya dengan sangat ramah. Apapun permintaan para
pelanggan diturutinya. Soal harga, Pak Sutanlah yang paling tidak hitungan
dibandingkan penjahit lainnya. Hasil pakaian yang dijahit oleh Pak Sutan begitu
rapi dan selesainya pun cepat. Ini sesuai dengan slogan kedai miliknya, cepat
dan rapi.
Ketiga anak Pak Sutan saat itu sudah
tumbuh dewasa. Anak pertamanya yang bernama Rio, ikut bekerja dengannya. Anak
keduanya, Nelli, melanjutkan pendidikan di Akademi Keperawatan, Siteba, Padang. Anaknya
yang nomor tiga, Rina, melanjutkan pendidikan di Universitas Bung Hatta, Padang.
Pak Sutan dan keluarga saat itu
sudah memiliki rumah sendiri di kawasan komplek Taruko, Balai Baru. Rumahnya
begitu bagus dan besar. Ia telah menjadi seorang wiraswasta yang sukses dan
hidup serba kecukupan.
Nasib malang kembali menimpa Pak Sutan
pada tahun 2004. Anak sulungnya tega mengkhianatinya. Uang hasil jahitan
digelapkan dan akhirnya Pak Sutan terpaksa berhutang untuk membayar gaji para
tukang. Awalnya, Pak Sutan hanya berhutang sebanyak Rp 50.000.000,00 untuk gaji
tukang yang sudah menumpuk selama berbulan-bulan. Akan tetapi, semakin hari
hutangnya semakin banyak. Ia tidak punya modal lagi untuk usaha, sehingga ia
harus meminjam uang kepada bank. “Utang
makin lamo samakin banyak. Utang ka urang ditambah utang ka bank. Baa lai, kok
anak yang ka disalahan awak indak tega. Baa juo inyo anak bagi apak. Anak apak
ko dulu pernah tingga agak bara tahun di Jakarta, mungkin pengaruh gaya iduik
di situ.” Ujar Pak Sutan.
Pak sutan merasa bahwa ia sudah
mendidik anak-anaknya dengan baik. Memperkenalkan anaknya dengan agama dan
selalu mengajarkan mereka untuk bersikap jujur. Entah apa yang membuat anak
sulungnya bertindak demikian, ia juga tidak tahu pasti. Pak Sutan beranggapan
semua ini adalah kesalahannya. “Kalau ado
yang disalahan, itu apak urangnyo. Apak terlalu pacayo samo anak, dek bagi
apak, pitih yang apak cari memang samato-mato untuak anak jo istri.” Ujar
Pak Sutan dengan suara bergetar.
Pak Sutan selalu berusaha mencari
uang untuk membayar hutangnya. Seringkali saat sudah jatuh tempo, pihak bank
datang kerumahnya untuk menagih pembayaran hutang. Istri Pak Sutan selalu
merasa takut karena harus menghadapi penagih hutang. “Ibuk acok takuik tiok urang bank ko karumah. Apolai kalau sadang ndak
adoh pitih.” Ujar istri Pak Sutan.
Pak Sutan saat itu sudah mempunyai
satu orang anak lagi. Anaknya bernama Danu. Danu yang baru duduk di bangku SMP
harus merasakan kehidupan seperti kakak-kakaknya dulu. Pada akhirnya, Pak Sutan
dan keluarga terpaksa menjual rumah mereka untuk membayar hutang yang semakin
menumpuk. Mereka kemudian pindah ke Gunung Pangilun dan mengontrak rumah di
sana.
Uang hasil penjualan rumah ternyata
tidak cukup untuk melunasi semua hutang. Alhasil, Pak Sutan sampai sekarang
tetap harus membayar sisa hutang kepada pihak bank. Danu, anak Pak Sutan,
setamat SMA melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Padang. Semua itu
membutuhkan banyak biaya dan ini menuntut Pak Sutan kembali meminjam uang. “Bagi apak apopun yang tajadi, anak apak
harus tetap sekolah tinggi. Mudah-mudahan bisa mambangkik batang tarandam.”
Ujar Pak Sutan penuh keyakinan. Pak Sutan selalu memohon bantuan kepada Allah
dan berharap kelak anak-anaknya yang lain berhasil dan hidup bahagia.
Perjuangan Pak Sutan menguliahkan
anaknya, Danu, tidak sia-sia. Danu resmi diwisuda pada bulan Maret 2012 yang
lalu. Sekarang Pak Sutan tidak lagi memikirkan biaya pendidikan anaknya. Ia
hanya tinggal memikirkan sisa hutang yang harus dilunasi.
Pak Sutan saat ini sudah berumur 63
tahun. Penyakit sudah banyak diidapnya. Tubuhnya pun tidak sekuat dulu, tetapi
ia tetap semangat dan berjuang melunasi hutang-hutangnya. “Umua sagiko harusnyo memang apak indak karajo lai. Tapi sia yang ka
mambayia utang? Apak indak namuah manyusahan anak, walaupun anak juo yang
mambuek apak takah iko.” Ungkapnya.
Pak Sutan dengan kondisi yang tidak
sehat tetap memaksakan diri untuk bekerja. Sekarang ini anak buah Pak Sutan
tidak sebanyak dulu. Pesanan pelanggan juga tidak bisa diselesaikan dengan
cepat. Keadaan ini mengharuskan ia berangkat sangat pagi ke kedainya. Ia harus
menyiapkan pakaian para pelanggan yang sudah mendesak. Akan tetapi, semua itu
tidak menyurutkan langkahnya. Pak Sutan tetap berusaha menyelamatkan
keluarganya, meskipun dengan langkah gontai.