Selasa, 18 Desember 2012

PERJUANGAN SEORANG AYAH



Pagi itu pukul 06.00 WIB, terdengar deruman mesin motor dari salah satu rumah penduduk di kawasan Gunung Pangilun, Padang. Sepeda motor ini milik seorang pria berumur 63 tahun. Pria ini bernama Sutan. Pak Sutan yang bertubuh gemuk ini memang selalu mengawali aktivitasnya di pagi hari, namun kali ini ada yang berbeda. Hari ini Pak Sutan berangkat bekerja lebih pagi dari biasanya dan ia tampak begitu tergesa-gesa. Pak Sutan juga tampak tidak sehat, berkali-kali ia terbatuk dan bersin-bersin. Pak Sutan mengendarai motornya dengan hati-hati, melaju meninggalkan halaman rumah menuju pasar raya, Padang.
            Pak Sutan berprofesi sebagai penjahit sejak tahun 1957. Saat ini, ia memiliki tiga buah kedai di pasar raya, tepatnya di belakang Padang teater. Perjalanan Pak Sutan dalam merintis usahanya tidaklah mudah. Awalnya, sebelum memiliki kedai sendiri, Pak Sutan memulai profesinya dengan bekerja pada orang lain. Waktu itu, Pak Sutan mengaku bahwa gajinya per hari hanya cukup untuk membeli segentang beras dan beberapa potong lauk. “Sabalun punyo kadai surang, apak karajo samo induak samang. Gaji saharinyo hanyo cukuik untuak bali sagantang bareh jo bara potong lauak.” Ungkapnya.
          Pak Sutan bersama istrinya yang bernama Yusni (54 tahun), memiliki tiga orang anak. Ketiga anak mereka bernama Rio, Nelli, dan Rina. Istri dan ketiga anaknya inilah yang membuat ia selalu gigih bekerja. Pak Sutan bekerja siang dan malam, meskipun hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan kerja kerasnya. Dalam seharinya, istri dan anak-anaknya hanya bisa makan apabila ia sudah pulang bekerja. Pak Sutan sepulang kerja selalu membawa segentang beras dan beberapa potong lauk. Saat itulah dapur keluarga ini mulai berasap dan keluarga ini bisa mengisi perut.
            Miris sekali kehidupan Pak Sutan saat itu. Seringkali ia menangis melihat ketiga anaknya hanya bisa makan sekali sehari saat ia sudah pulang bekerja. “Kalau apak jo ibuk indak baa makan sakali sahari, tapi ibo ati mancaliak anak-anak ko harus takah itu lo. Anak apak wakatu tu masih ketek-ketek, ndak cukuik gizinyo wakatu tu. Kalaupun ado siso nasi untuak bisuak, anak apak hanyo bisa makan nasi jo garam minyak.” Ujar Pak Sutan dengan mata berkaca-kaca.
            Pak Sutan dan keluarga saat itu tinggal di rumah kontrakan. Rumah kontrakan yang mereka tempati tidaklah besar dan masih satu bangunan dengan rumah pemilik kontrakan. Seringkali keluarga ini berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain karena keterbatasan biaya. Akan tetapi, hal ini tidak membuat Pak Sutan menyerah. Ia selalu gigih bekerja demi keluarganya. Istri dan anak-anaknya pun tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang mereka jalani. “Bagi ibuk jo anak-anak, apak adalah sosok yang batangguang jawab samo keluarga. Apak indak mudah manyarah, apo se namuah dikarajoan dek apak. Iko yang mambuek kami indak pernah mangaluah. Kami yakin iduik bisuak ka sanang.” Ujar istri Pak sutan.
            Anak-anak Pak Sutan saat itu baru duduk di bangku sekolah dasar. Ketiga anaknya ini tidak pernah mengeluh dengan keadaan orang tua mereka. Rio, Nelli, dan Rina selalu bersyukur bagaimanapun keadaan mereka. Mereka bahkan tidak pernah malu dan tetap aktif bergaul dengan teman-temannya. Mereka juga termasuk murid yang pintar di sekolahnya. Setiap pulang sekolah, ketiga anak ini selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah tetangga untuk menonton televisi. “Anak-anak dulu acok manumpang nonton tv. Gaji apak kan cukuiknyo untuak makan, jadi kami indak ado pitih untuak bali tv.” Ujar istri Pak Sutan.
           Seiringnya waktu kehidupan Pak Sutan dan keluarga semakin membaik. Pada tahun 1986, Pak Sutan sudah mampu mengontrak sebuah kedai dan memulai usaha sendiri. Kedai yang dikontraknya, ia lengkapi dengan sebuah meja untuk menggunting dan sebuah mesin jahit. “Alhamdulillah iduik mulai elok. Apak alah bisa mangontrak kadai surang. Tapi wakatu tu, apak baru punyo ciek meja guntiang jo ciek masin jaik.” Ujarnya. Pak Sutan saat itu memang baru mempunyai satu meja dan mesin jahit. Akan tetapi, ia tetap berusaha mewujudkan harapannya untuk menambah mesin jahit miliknya.
         Pak Sutan sekarang sudah tidak bekerja sendiri. Ia sudah mempunyai beberapa anak buah. Mesin jahit miliknya juga sudah bertambah bahkan Pak Sutan sudah punya banyak sekali pelanggan. Pak Sutan melayani para pelanggannya dengan sangat ramah. Apapun permintaan para pelanggan diturutinya. Soal harga, Pak Sutanlah yang paling tidak hitungan dibandingkan penjahit lainnya. Hasil pakaian yang dijahit oleh Pak Sutan begitu rapi dan selesainya pun cepat. Ini sesuai dengan slogan kedai miliknya, cepat dan rapi.
         Ketiga anak Pak Sutan saat itu sudah tumbuh dewasa. Anak pertamanya yang bernama Rio, ikut bekerja dengannya. Anak keduanya, Nelli, melanjutkan pendidikan di Akademi Keperawatan, Siteba, Padang. Anaknya yang nomor tiga, Rina, melanjutkan pendidikan di Universitas Bung Hatta, Padang.
          Pak Sutan dan keluarga saat itu sudah memiliki rumah sendiri di kawasan komplek Taruko, Balai Baru. Rumahnya begitu bagus dan besar. Ia telah menjadi seorang wiraswasta yang sukses dan hidup serba kecukupan.
            Nasib malang kembali menimpa Pak Sutan pada tahun 2004. Anak sulungnya tega mengkhianatinya. Uang hasil jahitan digelapkan dan akhirnya Pak Sutan terpaksa berhutang untuk membayar gaji para tukang. Awalnya, Pak Sutan hanya berhutang sebanyak Rp 50.000.000,00 untuk gaji tukang yang sudah menumpuk selama berbulan-bulan. Akan tetapi, semakin hari hutangnya semakin banyak. Ia tidak punya modal lagi untuk usaha, sehingga ia harus meminjam uang kepada bank. “Utang makin lamo samakin banyak. Utang ka urang ditambah utang ka bank. Baa lai, kok anak yang ka disalahan awak indak tega. Baa juo inyo anak bagi apak. Anak apak ko dulu pernah tingga agak bara tahun di Jakarta, mungkin pengaruh gaya iduik di situ.” Ujar Pak Sutan.
            Pak sutan merasa bahwa ia sudah mendidik anak-anaknya dengan baik. Memperkenalkan anaknya dengan agama dan selalu mengajarkan mereka untuk bersikap jujur. Entah apa yang membuat anak sulungnya bertindak demikian, ia juga tidak tahu pasti. Pak Sutan beranggapan semua ini adalah kesalahannya. “Kalau ado yang disalahan, itu apak urangnyo. Apak terlalu pacayo samo anak, dek bagi apak, pitih yang apak cari memang samato-mato untuak anak jo istri.” Ujar Pak Sutan dengan suara bergetar.
          Pak Sutan selalu berusaha mencari uang untuk membayar hutangnya. Seringkali saat sudah jatuh tempo, pihak bank datang kerumahnya untuk menagih pembayaran hutang. Istri Pak Sutan selalu merasa takut karena harus menghadapi penagih hutang. “Ibuk acok takuik tiok urang bank ko karumah. Apolai kalau sadang ndak adoh pitih.” Ujar istri Pak Sutan.
             Pak Sutan saat itu sudah mempunyai satu orang anak lagi. Anaknya bernama Danu. Danu yang baru duduk di bangku SMP harus merasakan kehidupan seperti kakak-kakaknya dulu. Pada akhirnya, Pak Sutan dan keluarga terpaksa menjual rumah mereka untuk membayar hutang yang semakin menumpuk. Mereka kemudian pindah ke Gunung Pangilun dan mengontrak rumah di sana.
           Uang hasil penjualan rumah ternyata tidak cukup untuk melunasi semua hutang. Alhasil, Pak Sutan sampai sekarang tetap harus membayar sisa hutang kepada pihak bank. Danu, anak Pak Sutan, setamat SMA melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Padang. Semua itu membutuhkan banyak biaya dan ini menuntut Pak Sutan kembali meminjam uang. “Bagi apak apopun yang tajadi, anak apak harus tetap sekolah tinggi. Mudah-mudahan bisa mambangkik batang tarandam.” Ujar Pak Sutan penuh keyakinan. Pak Sutan selalu memohon bantuan kepada Allah dan berharap kelak anak-anaknya yang lain berhasil dan hidup bahagia.
            Perjuangan Pak Sutan menguliahkan anaknya, Danu, tidak sia-sia. Danu resmi diwisuda pada bulan Maret 2012 yang lalu. Sekarang Pak Sutan tidak lagi memikirkan biaya pendidikan anaknya. Ia hanya tinggal memikirkan sisa hutang yang harus dilunasi.
            Pak Sutan saat ini sudah berumur 63 tahun. Penyakit sudah banyak diidapnya. Tubuhnya pun tidak sekuat dulu, tetapi ia tetap semangat dan berjuang melunasi hutang-hutangnya. “Umua sagiko harusnyo memang apak indak karajo lai. Tapi sia yang ka mambayia utang? Apak indak namuah manyusahan anak, walaupun anak juo yang mambuek apak takah iko.” Ungkapnya.
            Pak Sutan dengan kondisi yang tidak sehat tetap memaksakan diri untuk bekerja. Sekarang ini anak buah Pak Sutan tidak sebanyak dulu. Pesanan pelanggan juga tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Keadaan ini mengharuskan ia berangkat sangat pagi ke kedainya. Ia harus menyiapkan pakaian para pelanggan yang sudah mendesak. Akan tetapi, semua itu tidak menyurutkan langkahnya. Pak Sutan tetap berusaha menyelamatkan keluarganya, meskipun dengan langkah gontai.